“Pak Prabowo tahu One Piece. Ini spektakuler, Pak. Ini sebuah karya kreatif dan ini berasal dari negara Jepang,” ucap Bayu.
Baca juga: Gerindra: PSI Tegak Lurus Jokowi, Berarti Insya Allah Dukung Prabowo
Prabowo lantas bertanya, apakah anak-anak Indonesia mampu membuat karya serupa.
“Ada enggak anak-anak Indonesia yang bisa bikin kayak begitu?” tanya Prabowo ke Bayu.
“Banyak, Pak. Tapi kita selama ini hanya menjadi tukang, Pak. Tukang dalam artian, sumber daya manusia kita banyak. Tapi, kita tidak bisa membikin IP-nya sendiri, intelectual property-nya sendiri,” terang Bayu.
Pembicaraan keduanya lantas berlanjut tentang bagaimana Jepang memperkenalkan budaya mereka ke dunia melalui budaya-budaya populer, tak terkecuali manga dan anime seperti One Piece.
“Saya setuju. Film itu sarana yang paling bagus. Karena inilah saat-saatnya anak-anak muda yang kreatif. Kita butuh kreativitas itu,” tutur Prabowo.
Membaca hal ini, analis komunikasi politik dari Universitas Padjadjaran Kunto Adi Wibowo menilai, fenomena mendadak One Piece di kalangan politisi merupakan bagian dari pendekatan politik.
Kunto mengatakan, politik memang akan selalu dekat dengan budaya populer, tertutama fandom atau penggemar dari budaya pop tersebut.
“Budaya populer itu kan tidak hanya berupa anime, tapi bisa juga sepak bola, olahraga, musik,” kata Kunto kepada Kompas.com, Kamis (10/8/2023).
Sri Mulyani, meskipun tak turut berkontestasi pada pemilu, tetap membutuhkan kepercayaan publik demi memupuk citra yang baik sebagai Menteri Keuangan.
Sementara itu, Prabowo dan Anies jelas tengah berupaya menarik perhatian anak muda melalui pendekatan terhadap fandom anime.
Menurut Kunto, pola pendekatan serupa pernah dilakukan oleh Presiden Joko Widodo ketika pertama kali berkontestasi sebagai calon presiden (capres) Pemilu 2014. Saat itu, Jokowi memperlihatkan sisi lainnya sebagai penggemar grup musik heavy metal asal Amerika Serikat, Metallica, dan fans dari grup musik Tanah Air, Slank.
Manuver Jokowi itu pun sukses mendulang atensi dari penggemar musik metal dan rock yang pada akhirnya juga memberikan keuntungan secara elektoral.
“Ini kan cerita sukses ini ingin diulang oleh politisi di Indonesia,” ujar Kunto.
Baca juga: Jokowi: Pemerintah Siap Mendukung MK Mengawal Pemilu Serentak 2024
Namun demikian, Kunto melanjutkan, pendekatan politisi terhadap budaya populer mempunyai dua sisi. Jika tidak cermat, metode ini justru bisa menjadi bumerang.
Butuh kesesuaian citra politisi dengan budaya populer yang tengah “digarap” supaya tak terlalu kental akan nuansa politisasi.
“Sehingga tidak terlihat mengada-ada, tidak terlihat gimik,” ucap Kunto.
“Value-value yang ada di fansnya dia harus akrab, harus tahu, jadi enggak terasa asing di sebuah kumpulan fans yang memang sudah mendarah daging,” tuturnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.