Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
SAPA PEMIMPIN

BPKN dan BPSK "Mandul" Lindungi Hak Konsumen, Anggota Komisi VI DPR Darmadi Durianto Usulkan Kedua Lembaga Digabung

Kompas.com - 22/03/2023, 12:21 WIB
Yakob Arfin Tyas Sasongko,
Hotria Mariana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Prof (Assc) Dr Darmadi Durianto, SE, MBA mengusulkan penggabungan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPSK) dan Badan Perlindungan Sengketa Konsumen (BPSK).

Darmadi menilai, penggabungan tersebut perlu diwujudkan lantaran dua badan negara tersebut “mandul” dalam upaya memperkuat perlindungan hak konsumen di Tanah Air.

Selain itu, ia juga menilai, Undang-Undang (UU) Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 dalam posisi lemah. Alhasil, BPKN dan BPSK tidak dapat menjalankan fungsinya secara optimal.

"Dalam UU tersebut tertulis (BPKN) berfungsi menerima pengaduan dari masyarakat saja. BPKN enggak bisa berbuat apa-apa untuk melakukan eksekusi, hanya menerima pengaduan. Artinya, (lembaga) itu mandul," ujar Darmadi kepada Kompas.com saat ditemui di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (20/3/2023).

Baca juga: Tak Hanya Lindungi Konsumen, YLKI Minta Revisi UU Perlindungan Konsumen Lindungi Semua Pihak

Sebagai informasi, berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1999, salah satu fungsi dan tugas BPKN adalah memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah.

Selain itu, BPKN juga punya tugas untuk menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha, dan melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.

"Kalau ada apa-apa (berkaitan dengan konsumen), BPKN hanya melakukan kajian, lalu mengirimkan (hasilnya) kepada presiden. (Hasil kajian itu) tidak mengikat dan tidak ada fungsi khusus. Inilah yang membuat BPKN ‘mandul’ sehingga tidak berfungsi optimal," terang politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu.

Setali tiga uang dengan BPKN, ia juga menilai bahwa BPSK tak bertaji dalam menyelesaikan sengketa konsumen di lapangan.

Baca juga: Revisi UU Perlindungan Konsumen Mendesak, Badan Ahli DPR: Kita Sudah Ketinggalan

Merujuk UU yang sama, BPSK bertugas di level kabupaten/kota guna menuntaskan sengketa di masyarakat dengan anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Persoalan kemudian muncul lantaran UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda) menyebutkan bahwa perlindungan konsumen merupakan kewenangan pemerintah provinsi (pemprov).

Hal itu, kata Darmadi, berdampak pada peralihan anggaran BPSK dari yang awalnya melekat pada APBD kabupaten menjadi melekat pada APBD provinsi.

"Di sisi lain, APBD provinsi tidak mencukupi sehingga (dananya) tidak mengalir ke BPSK. Alhasil, BPSK tidak menerima dana dan hanya menerima uang hibah. Adapun uang hibah hakim per bulan adalah Rp 500.000-Rp 1 juta,” jelasnya.

Baca juga: Tren Pengaduan Properti Naik, YLKI Desak Pemerintah Bikin Organisasi Perlindungan Konsumen

Kondisi tersebut, lanjut Darmadi, menyebabkan BPSK tidak dapat menjalankan fungsinya dalam menyelesaikan sengketa secara optimal.

"Hakim-hakimnya pun pada enggak ada semua. Lantas, apa yang kemudian terjadi? BPSK juga ‘mandul’ dalam menjalankan fungsinya sebagai penuntas sengketa konsumen di daerah," kata Darmadi.

Darmadi melanjutkan, masyarakat masih lemah ketika menghadapi sengketa dengan pelaku usaha. Menurutnya, penggabungan kedua lembaga tersebut dapat menjadi salah satu solusi sebagai jaring pengaman bagi konsumen. Apalagi, saat ini, belum ada lembaga yang efektif menjamin melindungi konsumen. Alhasil, mereka kocar-kacir bila terjadi sengketa.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com