"Belum lagi, UU-nya lemah. Jadi, saya menyarankan agar BPKN dan BPSK digabung dan mendapat dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sehingga dapat berperan optimal," tandasnya.
Baca juga: Akademisi IPB Ungkap UU Perlindungan Konsumen Belum Maksimal
Di tengah hiruk-pikuk persoalan aduan konsumen beberapa waktu terakhir, Darmadi juga menyoroti urgensi revisi UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999.
Ia menilai, beleid tersebut masih lemah dalam melindungi konsumen. Pada kasus konsumen Meikarta, misalnya, sejumlah konsumen justru dituntut balik oleh pihak terlapor. Padahal, mereka hanya menagih haknya, salah satunya adalah pengembalian uang lantaran tak ada kepastian serah terima unit sejak pembayaran pertama pada 2017.
Darmadi pun menyebutkan salah satu contoh tumpang tindih substansi pada UU Perlindungan Konsumen. Pada Pasal 54 ayat 3, misalnya, putusan majelis BPSK bersifat final dan mengikat (final and binding). Itu artinya, putusan pertama dan terakhir tidak ada ruang hukum untuk mengujinya lagi.
Sementara itu, pada Pasal 58 ayat 2, tertulis bahwa para pihak (dalam waktu paling lama 14 hari) dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Baca juga: Konsep Perlindungan Konsumen
"Putusan majelis dalam BPSK disebut final and binding, tetapi di pasal berikutnya mereka boleh mengajukan keberatan. Kan aneh. (Bersifat) final and binding, tapi boleh mengajukan kasasi," ujarnya.
Faktanya, imbuh Darmadi, seluruh pengajuan permasalahan sengketa oleh konsumen di tataran MA (sebagian besar) kalah semua.
"Di tingkat MA, semua konsumen kalah. Jadi, (sebenarnya) perlindungannya tidak ada bagi konsumen," tambahnya.
Berdasarkan pemaparan Badan Keahlian DPR RI, Darmadi memprediksi UU Nomor 8 Tahun 1999 akan dirombak 50 persen hingga 70 persen jika dilakukan revisi.
Baca juga: Disentil Jokowi Soal Perlindungan Konsumen, OJK Bakal Benahi Market Conduct sampai Pelayanan
"Bisa sampai 70 persen (dirombak). Jadi, fundamental sekali untuk menata ulang UU Perlindungan Konsumen yang begitu krusial," kata dia.
Kompleksitas persoalan perlindungan konsumen juga tak lepas dari kultur masyarakat yang sudah terlanjur enggan untuk aktif melapor.
Karena itu, lanjut Darmadi, tak sedikit konsumen yang lebih memilih bungkam lantaran tak ada jaminan perlindungan bagi mereka.
"Meski begitu, saya menganjurkan kepada masyarakat untuk tetap aktif melapor bila menghadapi kasus pelanggaran hak konsumen. Hal ini penting dilakukan agar budaya lapor terus tumbuh di masyarakat untuk mendorong perubahan," jelasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.