Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PN Jakpus Jadi Bulan-bulanan Pakar Hukum Usai Perintahkan Tunda Pemilu

Kompas.com - 03/03/2023, 07:23 WIB
Vitorio Mantalean,
Dani Prabowo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) jadi bulan-bulanan pakar hukum tata negara.

Pasalnya, dalam putusan yang dibacakan kemarin, Kamis (2/3/2023), PN Jakpus menghukum KPU "tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu" dan "melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama 2 tahun 4 bulan dan 7 hari", yang berimbas pada penundaan pemilu.

Putusan ini berangkat dari gugatan perdata yang dilayangkan Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) yang merasa dirugikan oleh KPU karena dinyatakan tidak memenuhi syarat verifikasi administrasi partai politik calon peserta Pemilu 2024, sehingga tak bisa ambil bagian dalam Pemilu 2024.

Baca juga: Perjalanan PRIMA Gugat KPU 4 Kali hingga Menang di PN Jakpus, Berujung Kisruh Tunda Pemilu

Mahfud MD: PN Jakpus bikin sensasi

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) yang juga eks Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, menilai PN Jakpus bertindak terlalu jauh.

"PN Jakpus membuat sensasi berlebihan," kata dia dalam keterangannya, Kamis (2/3/2023) petang.

Ia beranggapan, vonis PN Jakpus salah dan mudah dipatahkan karena sengketa terkait proses, administrasi, dan hasil pemilu diatur tersendiri dalam UU Pemilu.

Ia menyoroti, bukan kompetensi pengadilan negeri menangani sengketa pemilu.

“Sengketa sebelum pencoblosan jika terkait proses administrasi, yang memutus harus Bawaslu, tapi jika soal keputusan kepesertaan paling jauh hanya bisa digugat ke PTUN,” ujar Mahfud.

Baca juga: PDI-P Minta KY Investigasi Putusan PN Jakpus soal Tunda Pemilu 2024

“Adapun apabila terjadi sengketa setelah pemungutan suara atau sengketa hasil pemilu, maka menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK). Itu pakemnya,” ujar Mahfud lagi.

Mahfud bahkan mengajak KPU banding atas putusan ini.

Yusril: gugatan perdata tidak berlaku umum

Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) yang juga pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, berpendapat bahwa majelis hakim PN Jakpus keliru.

Sebab, gugatan PRIMA adalah gugatan perdata perbuatan melawan hukum biasa, bukan gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa, dan bukan pula gugatan yang berkaitan dengan hukum publik di bidang ketatanegaraan atau administrasi negara.

"Dalam gugatan perdata biasa seperti itu, maka sengketa yang terjadi adalah antara penggugat (Partai Prima) dan tergugat (KPU) dan tidak menyangkut pihak lain," kata Yusril dalam keterangannya, kemarin.

Baca juga: PN Jakpus Putuskan Tunda Pemilu 2024, Anggota DPR: Timbulkan Problem Ketatanegaraan

Oleh karenanya, dalam kasus gugatan perdata yang dilayangkan Prima, putusan PN Jakpus seharusnya tidak mengikat partai-partai politik lain apalagi Pemilu 2024 secara keseluruhan.

"Pada hemat saya, majelis harusnya menolak gugatan Partai Prima, atau menyatakan N.O atau gugatan tidak dapat diterima karena pengadilan negeri tidak bewenang mengadili perkara tersebut," kata Yusril yang pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan HAM RI.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com