Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni, berharap Komisi Yudisial turun tangan soal putusan teranyar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat PN Jakpus yang memerintahkan penundaan pemilu.
"Ini aneh langkah menunda pemilu via upaya perdata di pengadilan negeri. Komisi Yudisial mestinya proaktif untuk memeriksa majelis pada perkara ini," ujar Titi kepada wartawan, Kamis.
"Sebab ini putusan yang jelas menabrak konstitusi dan juga sistem penegakan hukum pemilu dalam UU Pemilu. Isi putusan yang aneh, janggal, dan mencurigakan," tambahnya.
Dalam Pasal 470 dan 471 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017, sudah diatur saluran-saluran yang bisa ditempuh untuk mewujudkan keadilan pemilu, yaitu Bawaslu dan PTUN.
"Jadi bukan kompetensi PN Jakpus untuk mengurusi masalah ini apalagi sampai memerintahkan penundaan Pemilu ke 2025," ujar pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia itu.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Feri Amsari, menganggap PN Jakpus telah bertindak di luar yurisdiksi.
Ia menyinggung prinsip penyelenggaraan pemilu 5 tahun yang merupakan amanat UUD 1945 lewat Pasal 22E ayat (1).
Baca juga: Mahfud Minta KPU Banding dan Lawan Habis-habisan Putusan PN Jakpus agar KPU Tunda pemilu
"Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi saja tidak bisa menabrak ketentuan ini, apalagi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," kata Feri kepada Kompas.com, Kamis.
"Ini tidak masuk akal. Ini bukan yurisdiksi dan bukan kewenangannya," ia melanjutkan.
Ia memberi ilustrasi, apabila pengadilan negeri diberikan wewenang semacam ini, maka ribuan pengadilan negeri di seluruh Indonesia dapat membuat putusan seperti yang dibuat PN Jakpus untuk menunda pemilu yang sifatnya nasional. Hal ini akan menimbulkan kekacauan.
"Oleh karena itu putusan ini semestinya harus segera dibatalkan dan tidak bisa dianggap sebagai putusan peradilan karena bukan menjalankan yurisdiksinya," ungkap Feri.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva, mengaku terkejut mendapati berita soal putusan PN Jakpus ini.
"Walaupun masih putusan tingkat PN yang masih bisa banding dan kasasi, tetapi perlu dipertanyakan pemahaman dan kompetensi hakim PN dalam memutuskan perkara tersebut, karena bukan kompetensinya," ungkap Hamdan lewat keterangan tertulis, Kamis.
Ia menduga ada salah paham majelis hakim atas objek gugatan yang dilayangkan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), yang merasa dirugikan karena dinyatakan KPU tidak memenuhi syarat keanggotaan verifikasi administrasi partai politik calon peserta Pemilu 2024.
"Seharusnya dipahami bahwa sengketa pemilu itu, termasuk masalah verifikasi peserta pemilu adalah kompetensi peradilan sendiri, yaitu Bawaslu dan PTUN, atau mengenai sengketa hasil di MK," jelas Hamdan.
"Tidak bisa dibawa ke ranah perdata dengan dasar perbuatan melawan hukum," ia menambahkan.
Baca juga: Yusril Anggap Majelis Hakim PN Jakpus Keliru Hukum KPU Tunda Pemilu dalam Gugatan Perdata
Ketentuan ini pun sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu lewat Pasal 470 dan 471.
"Tidak ada kewenangan PN memutuskan masalah sengketa pemilu, termasuk masalah verifikasi dan bukan kompetensinya, karena itu putusannya pun menjadi salah," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.