Dengan demikian, kata Titi, untuk meniadakan pemilihan langsung gubernur atau jabatan gubernur tidaklah mudah lantaran harus mengubah konstitusi.
"Sedangkan amendemen konstitusi di tengah situasi saat ini hanya akan membuka kotak pandora bagi munculnya isu-isu kontroversial lainnya. Bukan suatu pilihan yang momentumnya tepat," ujarnya.
Baca juga: Muhaimin Usul Jabatan Gubernur Dihapus karena Tak Efektif dan Anggarannya Terlalu Besar
Titi juga khawatir beban pemerintah pusat membengkak jika jabatan gubernur dihapus. Sebaliknya, pengawasan terhadap penguasa berpotensi melemah.
"Dengan struktur pemerintahan daerah yang mencakup kabupaten/kota, maka penghapusan gubernur akan memperlebar jarak rentang kendali antara pusat dan daerah yang sangat mungkin justru akan menambah beban pemerintah pusat dan mengurangi efektivitas pengawasan itu sendiri," katanya.
Titi pun mempertanyakan urgensi penghapusan jabatan gubernur. Dia bilang, kalau yang dipersoalkan Cak Imin adalah soal efektivitas kewenangan gubernur, persoalan itu dapat diselesaikan melalui pengaturan ulang undang-undang.
Jika kewenangan gubenur dirasa belum efektif, pembentuk undang-undang bisa menatanya jadi lebih baik melalui revisi UU Pemerintahan Daerah alih-alih menghapus keberadaannya.
"Sebab apa yang menjadi keluhan beliau sesungguhnya berada pada ranah undang-undang yang bisa diperbaiki melalui pengaturan dalam undang-undang tanpa harus melompat langsung pada penghapusan jabatan gubernur atau pemilihan langusng gubernur oleh rakyat," terang Titi.
Baca juga: Cak Imin Usul Jabatan Gubernur Dihapus, Pimpinan Komisi II DPR: Apa Provinsinya Dihapus?
Tak hanya itu, lanjut Titi, dalam praktik demokrasi elektoral di Indonesia, gubernur merupakan sumber rekrutmen sirkulasi elite politik nasional.
Tak bisa dimungkiri, saat ini sebagian besar tokoh yang masuk bursa calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) adalah mereka yang berlatar belakang sebagai kepala daerah provinsi atau gubernur.
Bahkan, sebelum menempati tampuk tertinggi kekuasaan, Presiden Joko Widodo juga lebih dulu menempati posisi Gubernur DKI Jakarta.
"Gubernur menjadi posisi untuk mempromosikan kinerja dan kepemimpinan menuju jabatan politik di tingkat nasional," kata Titi.
Baca juga: Muhaimin Iskandar Klaim PKB Siap Sampaikan Kajian Hapus Pilgub dan Jabatan Gubernur ke Baleg
Dengan dalih tersebut, Titi menilai, kurang tepat mengusulkan penghapusan pemilihan gubernur atau jabatan gubernur itu sendiri.
Apalagi, tahun depan Indonesia akan menggelar Pilkada serentak untuk memilih gubernur dan bupati/wali kota.
"Lebih baik semua pihak, khususnya partai politik berkonsentrasi menyiapkan tahapan pemilu dan pilkada 2024 agar terlaksana tepat waktu dan bersih tanpa kecurangan," kata dia.
Senada dengan Titi, pakar otonomi daerah (otda) Djohermansyah Djohan menilai wacana penghapusan gubernur tak bisa dibenarkan.