“Siapa yang datang ke Indonesia kalau country risk-nya sebegitu tinggi? Pasti investor yang nekat,” ujar dia.
Pahala mengungkapkan, skor IPK selama ini tidak pernah melewati batas 40. Menurutnya, perlu berbagai terobosan untuk mendongkrak IPK menembus angka tersebut.
Baca juga: Indeks Korupsi Turun, Indonesia Mendekati Deretan Sepertiga Negara Korup Dunia
Ia mencontohkan hingga saat ini belum terdapat terobosan di bidang pengadaan barang dan jasa serta konflik kepentingan.
“Kita bilang sistemnya semua orang tahu sistem yang sekarang ini, terobosannya kan enggak ada,” ujar Pahala.
Sementara itu, Managing Director of Paramadina Public Policy Institute, Ahmad Khoirul Umam menyebut merosotnya IPK menunjukkan demokrasi sedang dalam masalah serius.
“Kalau Indonesia pada titik 34 tepat berada di tengah 30 dan 36 maka ada sesuatu secara demokrasi cukup serius problemnya di sana,” kata Umam.
Ia lantas menyoroti turunnya PRS International Risk Guide dari 48 menjadi 35.
Indikator ini mengukur korupsi dalam sistem politik, konflik kepentingan antara politisi dan pelaku usaha, serta pembayaran suap untuk izin ekspor/impor.
Baca juga: ICW Sebut Merosotnya IPK Tak Terlepas dari Pernyataan Luhut dan Tito yang Permisif terhadap Korupsi
Sementara, dua indikator lainnya, IMD WOrld Competitiveness Yearbook dan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Asia Risk Guide juga merosot.
Ketiga indikator itu memang memberikan penilaian dari perspektif bisnis. Namun, terdapat dunia bisnis memberikan catatan terhadap kualitas demokrasi dan penegakan hukum.
“Jadi kualitas demokrasi kita memang kalau kita sekarang menjadi 34 ini adalah pesan terjadi kita sudah mengalami kemunduran demokrasi,” ujar Umam.
Ia kemudian menyebut bahwa demokrasi tidak bisa hanya dipahami sebatas penyelenggaraan pemilu.
Sejumlah komponen lain seperti aturan hukum, kebebasan pers, dan semangat masyarakat sipil juga mesti dipenuhi.
Sejumlah peristiwa yang ditimbulkan kelompok politik tertentu untuk mengkooptasi kekuasaaan dan melemahkan pengawasan terhadap demokrasi.
Beberapa di antara fenomena itu adalah pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK); wacana perpanjangan presiden, penundaan Pemilu, masa jabatan kepala desa; dan skema Pemilu serentak sementara 271 kepala daerah rentan dipolitisasi.
“KPK sebagai korektor kekuasaan telah ter-delegitimasi, tadi Mbak Bibit (Bivitri Susanti) secara clear, KPK dibunuh, saya agak tertegun,” tuturnya.
Terpisah, Indonesia Corruption Watch (ICW) memandang, kemerosotan skor IPK ini membuat Indonesia llayak disebut sebagai negara korup.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan, narasi pemberantasan korupsi yang selama ini disampaikan Presiden Joko Widodo tak ubahnya hanya pemanis belaka.