JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, merosotnya skor indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia ke angka 34 dari 100 tidak terlepas dari sikap permisif menteri kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap perilaku rasuah.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan, salah satu anak buah Jokowi yang menunjukkan sikap permisif itu adalah Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.
“Sempat berulang kali mengomentari mengenai operasi tangkap tangan (OTT) dengan kalimat destruktif,” kata Kurnia dalam keterangan resminya, Rabu (1/2/2023).
Sebagai informasi, IKP atau corruption perceptions index (CPI) mengukur persepsi korupsi di sektor publik.
CPI dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII) dengan mengurutkan 180 negara tingkat korupsi di dunia. Negara dengan skor 0 berarti sangat rawan korupsi sementara 100 bebas korupsi.
Kurnia mengungkapkan, sikap permisif lainnya ditunjukkan dari pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang meminta agar aparat penegak hukum tidak menindak kepala daerah.
Tito Karnavian meminta aparat penegak hukum fokus mendampingi para kepala daerah.
“Pernyataan-pernyataan semacam ini tentu menunjukan sikap yang berseberangan dengan harapan atas perbaikan pemberantasan korupsi,” ujar Kurnia.
Persoalan lain yang ditengarai membuat IPK anjlok adalah pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Revisi Undang-Undang (UU) KPK Tahun 2019.
ICW memandang, KPK merupakan lembaga yang selama ini gencar memberantas korupsi politik.
“Tidak cukup itu, presiden juga membiarkan figur-figur bermasalah memimpin lembaga antirasuah,” kata Kurnia.
Baca juga: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2022 Merosot 4 Poin Jadi 34
Selanjutnya, presiden dan DPR melalui produk kebijakannya dinilai tidak mendukung penguatan pemberantasan korupsi.
Menurut Kurnia, dalam lima tahun terakhir undang-undang yang diundangkan tidak lebih dari hanya untuk membuat pemberantasan korupsi melemah.
Ia mencontohkan, beberapa produk kebijakan itu antara lain revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU Pemasyarakatan, UU Cipta Kerja, UU Mahkamah Konstitusi, serta UU Mineral dan Batubara (Minerba).
ICW menilai, semua klaim terkait pembentukan undang-undang yang mendukung pemberantasan korupsi hanyalah ilusi.
“Begitu pula Presiden, janji politik saat kampanye tahun 2014 maupun 2019 dilupakan begitu saja seiring dengan menguatnya lingkaran kepentingan politik,” ujarnya.
Baca juga: Skor Indeks Persepsi Korupsi Anjlok, Demokrasi Indonesia dalam Masalah Serius
Kurnia lantas menyebut bahwa narasi-narasi pemberantasan korupsi yang disampaikan Presiden Jokowi hanya pemanis.
Menurutnya, pemerintahan Jokowi akan diingat sebagai rezim paling buruk pasca-reformasi dalam hal pemberantasan korupsi.
Keadaan pemberantasan korupsi yang carut marut ini, kata Kurnia, bertolak belakang dengan ucapan Jokowi saat menghadiri peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia).
Saat itu, Jokowi menyebut bahwa korupsi merupakan pangkal dari berbagai tantangan dan masalah pembangunan.
“Mencermati IPK Indonesia, dapat disimpulkan bahwa untaian kalimat Presiden terkait pemberantasan korupsi hanya sekadar pemanis pidato semata,” kritik kurnia.
Baca juga: Deputi Pencegahan KPK Kaget Setengah Mati Tahu Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Merosot
Diketahui, Luhut sebelumnya pernah menyebut upaya operasi tangkap tangan (OTT) KPK membuat citra negara menjadi buruk.
Menurutnya, OTT tidak perlu lagi dilakukan jika digitalisasi dilakukan di berbagai sektor.
Dengan digitalisasi, kata Luhut, pejabat akan sulit melakukan korupsi.
"Karena ini mengubah negeri ini, kita enggak usaha bicara tinggi-tinggilah, kita OTT-OTT itu kan enggak bagus sebenarnya, buat negeri ini jelek banget," kata Luhut di Thamrin Nine Ballroom, Selasa (20/12/2022).
Sementara itu, Tito Karnavian meminta aparat penegak hukum tidak menyelidiki atau memanggil kepala daerah.
Ia khawatir kepala daerah takut akan kehadiran aparat sehingga kebijakan di daerah tidak berjalan.
"Jangan sampai ketakutan kepala daerah untuk kepada APH karena dipanggil, dipanggil, lidik (penyelidikan), dipanggil, lidik, moril akan jatuh," ujar Tito dalam sambutannya di rapat koordinasi inspektorat daerah seluruh Indonesia di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (25/1/2023).
Baca juga: Bivitri Ungkap Otoritarianisme Berbungkus Hukum, Legal tapi Bisa Berbahaya
"Jadi, KPK pun jangan pula sedikit sedikit tangkap tangkap, itu. Ya lihat-lihatlah, tetapi kalau digitalisasi ini sudah jalan, menurut saya, (koruptor) enggak akan bisa main-main," tambahnya.
Dihubungi Kompas.com, Juru Bicara Kemenko Marves Jodi Mahardi mengatakan bahwa pernyataan Luhut tidak berarti tak sepakan dengan upaya OTT KPK.
Menurut Jodi, Luhut berpandangan bahwa jika tidak terdapat perbaikan sistem maka OTT akan terus berulang. Ditambah lagi, pelaku korupsi semakin canggih dalam menghindar.
Oleh karenanya, Jodi mengatakan, Luhut mengajak publik untuk berpikir lebih maju, yakni bagaimana menerapkan sistem yang mempersempit celah korupsi.
"Kita lihat di negara-negara maju kan OTT jarang terjadi, bukan berarti Pak Luhut tidak setuju dengan OTT," kata Jodi lewat pesan tertulis, Rabu (1/2/2023).
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri, Benny Irwan yang dicoba dihubungi belum memberikan tanggapan.
Sebelumnya, TII merilis IPK Indonesia merosot 4 poin menjadi 34 pada tahun 2022.
Selain itu, Indonesia juga turun peringkat berada di posisi ke 110, turun 14 peringkat dari tahun sebelumnya di tingkat 96.
Deputi Sekretaris Jenderal TII, Wawan Suyatmiko mengatakan, pihaknya menggunakan sembilan indikator dalam pengukuran CPI.
Adapun salah satu indikator yang menjadi sorotan adalah Political Risk Service (PRS) atau risiko politik.
Indikator ini turun 13 poin dari 48 pada 2021 menjadi 35 pada 2022.
Sementara itu, penurunan dalam jumlah lebih dari 4 poin menunjukkan adanya perubahan signifikan.
“Itu turut menyumbang penurunan CPI kita dari 38 ke 34 tahun ini,” ujar Wawan.
Baca juga: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2022 Merosot 4 Poin Jadi 34
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.