Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Trias Kuncahyono
Wartawan dan Penulis Buku

Trias Kuncahyono, lahir di Yogyakarta, 1958, wartawan Kompas 1988-2018, nulis sejumlah buku antara lain Jerusalem, Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir; Turki, Revolusi Tak Pernah Henti; Tahrir Square, Jantung Revolusi Mesir; Kredensial, Kearifan di Masa Pagebluk; dan Pilgrim.

Terorisme: Dari Dapur hingga Surga (Bagian 4)

Kompas.com - 29/10/2022, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BANYAK ahli yang sudah mempelajari dan mencari jawaban atas pertanyaan: Mengapa perempuan tertarik menjadi teroris? Mengapa menjadi pengebom bunuh diri?

Mereka berkesimpulan, tidak ada alasan tunggal, mengapa perempuan terlibat terorisme. Tapi, sebagian besar memiliki alasan yang sangat pribadi dan emosional.

Kata Rhiannon Talbot dalam Myths in the Representations of Women Terrorists (2001), penggambaran rata-rata teroris perempuan, didasarkan pada lima anggapan. Yakni, mereka adalah (1) feminis ekstremis; (2) hanya terikat dalam terorisme melalui hubungan dengan seorang pria (3) hanya bertindak dalam peran pendukung dalam organisasi teroris; (4) tidak kompeten secara mental; (5) tidak feminin dalam beberapa hal; atau kombinasi di atas.

Baca juga: Perempuan Masuk Istana Bawa Senpi, Mahfud MD: Bukti Radikalisme Masih Ada

Dengan kata lain, keterlibatan perempuan dengan terorisme karena berbagai alasan.

Menurut Olivia Norton (2022) dari Australian Institute of International Affairs, perempuan juga dimotivasi oleh banyak keinginan yang sama dengan pria, yang diilhami oleh keyakinan politik, agama, dan budaya.

Perempuan dapat terpikat dogma yang bermuatan emosi dan rasa memiliki serta kebebasan. Meskipun kenyataan sering kali bertolak belakang.

Namun, Olivia Norton tidak memungkiri bahwa perempuan dapat ditarik ke dalam ekstremisme untuk alasan yang berbeda dengan laki-laki, seperti melalui janji perlindungan, pemberdayaan, atau keinginan untuk membantu anak-anak dan anak yatim.

Yang disampaikan Olivia Norton itu tak jauh berbeda dengan yang dikemukan 
Haula Noor dari Australian National University (2021), berdasarkan hasil sebuah penelitian di Indonesia tahun 2008.

Hasil penelitian itu mengungkapkan bahwa selain faktor legitimasi, perempuan bergabung dengan organisasi ekstrem juga karena terdorong secara emosional. Mereka merasa lebih dihargai, lebih berdaya, dan ingin memperkuat hubungan dengan anggota lain.

Haula Noor memberikan contoh kebijakan yang diambil pemimpin Al-Qaeda dari Yordania Abu Mus'ab Az-Zarqawi, tahun 2005. Saat itu Zarqawi membolehkan perempuan ikut angkat senjata.

Empat Re, Satu Ra

Sementara Mia M Bloom berpendapat ada lima "R" yang memotivasi perempuan menjadi teroris. Kelima "R" itu adalah redemption (penebusan), revenge (balas dendam), respect (rasa hormat), relationship (hubungan), and rape (pemerkosaan).

Baca juga: Ini Alasan Suami Siti Elina Jadi Tersangka meski Tak Ikut Terobos Istana...

Balas dendam (revenge), misalnya, muncul karena kehilangan seseorang yang berarti dalam hidupnya, entah suami, anak atau saudara.

Ini seperti yang menjadi dasar para perempuan Chechnya membentuk shahidka atau Black Widows. Balas dendam juga dilakukan terhadap pemerintah. Karena dianggap pemerintah tidak sesuai dengan yang mereka inginkan atau prinsip-prinsip pemerintahan menurut mereka.

Seorang perempuan diduga membawa senjata api ditangkap Polisi Lalu Lintas dan anggota Pasukan Pengamanan Presiden (Presiden) karena mencoba menerobos masuk ke area Istana Negara, Selasa (25/10/2022).(ISTIMEWA) Seorang perempuan diduga membawa senjata api ditangkap Polisi Lalu Lintas dan anggota Pasukan Pengamanan Presiden (Presiden) karena mencoba menerobos masuk ke area Istana Negara, Selasa (25/10/2022).
Karena merasa bersalah, berdosa, maka perempuan memilih jalan menjadi teroris sebagai bentuk redemption, penebusan.

Kasus Puji Kuswati, misalnya, adalah salah satu wujud dari menjadi teroris karena relationship, hubungan. Dalam hal ini adalah hubungan Puji dengan suaminya, Dita Oepriarto.

Pendek kata, pertanyaan mengapa perempuan menjadi teroris, jawabannya tidak tunggal. Ada faktor pemikat dari luar (pull factors) dan ada fakfor pendorong dari dalam diri (push factors). Dengan kata lain, ada banyak faktor yang memotivasi seorang perempuan menjadi teroris, mulai faktor duniawi hingga surgawi (Habis!)

Tiga artikel lain sebelumnya: 

Baca juga: Perempuan Berpistol Itu - (Terorisme 1)

Baca juga: Perempuan, Senjata Siluman - (Terorisme 2)

Baca juga: Kelas Dua ke Kelas Satu - (Terorisme 3)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com