DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah mengesahkan tiga rancangan undang-undang (RUU) daerah otonomi baru (DOB) Papua, yakni RUU tentang Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Provinsi Papua Pegunungan. Dengan tiga provinsi baru, Indonesia kini memiliki 37 provinsi.
Sebelum pengesahan, Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia Tandjung menjelaskan, pemekaran merupakan bagian dari amanat UU tentang Otonomi Khusus Papua. Pemekaran itu untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat, serta mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua (Republika.co.id, 01/7/2022).
Baca juga: Pemekaran Papua: Membangun Kemandirian Daerah Otonom Baru
Padahal tak lama sebelumnya, Majelis Rakyat Papua (MRP) mendesak pimpinan DPR RI tak terburu-buru membahas tiga RUU Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua setelah terbitnya Surat Presiden (Surpres). Ketua MRP, Timotius Murib mengatakan, pembahasan beleid DOB Papua yang tergesa-gesa memiliki dampak sosial di akar rumput dan membuat kepercayaan rakyat pada pemerintah semakin memburuk (Tirto.id, 18/6/2022).
Baca juga: Uji Materiil UU Otsus, Ahli Presiden Pertanyakan Kedudukan Hukum Majelis Rakyat Papua
UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 35 tahun 2008 dan UU Nomor 2 tahun 2021 mengatur bahwa Provinsi Papua dan Papua Barat adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi otonomi khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Otonomi khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua dan Papua Barat untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.
Salah satu yang membedakan dengan provinsi lain adalah, di Papua maupun di Papua Barat terdapat Majelis Rakyat Papua, yang selanjutnya disebut MRP. MRP adalah representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam Undang-undang Otonomi Khusus Papua.
Dapat dikatakan, MRP adalah representasi masyarakat adat Papua dan orang asli Papua. Masyarakat adat dipahami sebagai warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.
Sedangkan orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua.
Pasal 19 UU Otsus mengatur bahwa MRP beranggotakan orang-orang asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total anggota MRP.
Tugas dan wewenang MRP sebagaimana diatur dalam Pasal 20 antara lain memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon gubernur dan wakil gubernur, persetujuan terhadap rancangan perdasus, memberikan saran, pertimbangan, dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerja sama, baik yang dibuat oleh pemerintah maupun Pemerintah Daerah Provinsi Papua dengan pihak ketiga, khusus yang menyangkut perlindungan hak orang asli Papua.
Kewenangan lain adalah memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan, dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya dan memberikan pertimbangan kepada DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua), gubernur, DPRK (Dewan Perwakilan Rakyat Kabupten/Kota), dan bupati/wali kota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua.
Baca juga: MRP Sarankan Kemendagri Tunjuk Orang Asli Papua Jadi Pj Gubernur 3 Provinsi Baru
Dalam hal pemekaran daerah Pasal 76 ayat (1) mengatur bahwa pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan pada masa yang akan datang.
Sampai di sini tampak jelas posisi masyarakat adat Papua dan orang asli Papua yang direpresentasikan oleh MRP berkaitan dengan berbagai kebijakan strategis yang akan berpengaruh kepada perlindungan masyarakat adat dan orang asli Papua. Sudah barang tentu termasuk dalam hal kebijakan pemekaran provinsi.
Sebagaimana disampaikan Ketua MRP di atas, bahwa pembahasan beleid DOB Papua yang tergesa-gesa memiliki dampak sosial di akar rumput dan membuat kepercayaan rakyat pada pemerintah semakin memburuk.
Kalaulah pemerintah memahami dan konsisten memposisikan MRP sebagai representasi masyarakat adat dan orang asli Papua, maka seharusnya sikap kelembagaan MRP yang belum menyetujui dilakukannya pemekaran Provinsi Papua harusnya diperhatikan dengan seksama oleh pemerintah dan DPR sebelum mengesahkan pemekaran tersebut.
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.