Tak heran jika korupsi di dalam setiap proses pendidikan kita kemudian hanya menghasilkan manusia-manusia bergelar yang akhirnya dengan mental yang sama juga ikut melakukan hal yang sama di setiap jabatan yang mereka duduki, yakni korupsi.
Mereka dengan sadar ikut merusak sistem ekonomi politik kita dengan menggergaji kapasitas negara ini dalam melawan kemiskinan dan keterbelakangan.
Dan secara politik, rektor semacam KRM dan kawan-kawannya tersebut berperan besar dalam melahirkan zombie-zombie dan buzzer-buzzer yang menjual kemampuan akademiknya untuk menciptakan kerusuhan-kerusuhan di dalam ruang publik kita.
Tak heran kemudian, dunia pendidikan yang mereka ciptakan telah melahirkan tokoh-tokoh bergelar mentereng yang dengan suka cita menggadaikan gelarnya untuk memperkeruh kehidupan berbangsa dan bernegara.
Meminjam istilah ekonom penerima Nobel bidang ekonomi tahun 2008, Paul Krugman, dalam buku barunya tahun 2020 lalu, "Arguing with Zombie, " dengan latar di atas, dunia pendidikan kita akhirnya ikut melahirkan zombie-zombie di ruang publik, yang berpikir dan berbicara di luar pakem intelektualitas.
Mereka dengan sukacita menciptakan dan menyebar hoaks, membangun narasi-narasi kebencian nan provokatif, membudidayakan narasi adu domba, dan menginterpretasi data dan fakta secara picik sesuai kepentingan ekonomi politik para sponsor.
Padahal, para intelektual selayaknya menyampaikan narasi dan interpretasi atas fakta-fakta yang ada berdasarkan keilmuannya, bukan berdasarkan kepentingan dan pesanan sponsor.
Perkara nanti bertabrakan dengan narasi dan interpretasi lainnya yang didasarkan atas kepentingan ekonomi politik atau atas preferensi ideologi, yang tak jarang hanya dibalut dengan angan-angan, data palsu, berita bohong atau fakenews, dan berbagai macam bentuk narasi provokatif, adalah perkara lain.
Karena itulah Krugman menganalogikan kubu semacam itu dengan "zombie," di mana konteksnya adalah kubu konservatif di Amerika Serikat, yang dianggapnya lebih sering berargumen berdasarkan prasangka, data hoaks tak valid, dan berbagai macam mimpi ideologis lainnya.
Bagi seorang intelektual sejati, tentu tak ada kewajiban untuk berdebat panjang lebar dengan kubu semacam ini, kata Krugman di dalam pengantarnya.
Sebagai intelektual, cukup hadirkan saja analisa dan pandangan yang jernih dengan landasan logika yang jelas dan fakta-fakta yang nyata, itu sudah cukup.
Dan di sinilah masalahnya hari ini. Karena peran orang seperti KRM dan kawan-kawannya, yang saya yakin ada di hampir semua kampus Indonesia, dunia pendidikan kita kemudian lebih banyak menghasilkan zombie ketimbang intelektual.
Dosanya bukan saja sekadar pidana, tapi generasi muda yang lahir atas cara kerja para profesor penghasil zombie ini yang jauh dari kualitas dan integritas.
Tak lupa, mereka juga termasuk pihak yang berdosa atas lahirnya gelar master, doktor, atau doktor honororis causa, yang tidak dihasilkan melalui jerih payah akademik dan kontribusi nyata atas kemajuan ilmu pengetahuan bahkan negeri ini, tapi melalui mekanisme tawar-menawar harga.
Pun tak diragukan lagi, dosanya juga sudah masuk kategori intergenerasional. Karena itu, KPK, jaksa, dan pengadilan perlu mempertimbangkan hukuman yang lebih pantas untuk profesor perusak generasi muda dan penghasil zombie semacam itu, agar menjadi shock teraphy bagi pejuang-pejuang pendidikan lainnya agar tidak terjebak ke dalam lembah komodifikasi pendidikan yang menghasilkan zombie-zombie perusak negeri ini.