KOMPAS.com - Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar berjanji akan kembali bertemu dengan Direktur Utama (Dirut) PT Kereta Api Indonesia (Persero) (KAI) Didiek Hartantyo untuk mencari solusi atas persoalan yang terjadi di Desa Bolali, Kecamatan Wonosari, Klaten, Jawa Tengah (Jateng).
Adapun persoalan tersebut adalah mengenai keputusan PT KAI meminta Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Bolali Maju untuk membayar Rp 30 juta per tahun.
Permintaan itu diajukan PT KAI karena crossing kabel fiber optik yang dipakai masyarakat Desa Bolali melintasi properti perusahaan milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu. PT KAI pun meminta pembayaran untuk dua tahun sekaligus sebagai termin pertama.
“Saya berharap agar setiap kepala desa (kades) atau setingkat untuk tidak segan melaporkan jika mengalami persoalan seperti yang terjadi di Desa Bolali,” ucap pria yang akrab disapa Gus Halim itu dalam siaran persnya, Jumat (20/5/2022).
Baca juga: Telkom Minta Mitratel Percepat Pengembangan Bisnis Fiber Optic
Pernyataan tersebut ia sampaikan saat melihat langsung lokasi dan posisi fiber optic milik BUMDes Bolali Maju yang dipotong PT KAI Desa Bolali, Wonosari, Klaten, Jateng, Kamis (19/5/2022).
Setelah melihat langsung lokasi dan posisi fiber optic milik BUMDes yang dipotong PT KAI, Gus Halim mengaku heran.
Pasalnya, ia menemukan bahwa ternyata ada kabel PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PLN) melintasi properti PT KAI selain fiber optic milik BUMDes.
Akan tetapi, kata dia, kenapa hal yang dipersoalkan hanya fiber optic BUMDes yang sebenarnya melintasi saluran air.
Baca juga: Surge Targetkan Jaringan Fiber Optic Ruas Jakarta–Bandung Rampung Tahun Ini
"Tapi setelah melihat langsung, saya kira ini sangat naif juga jika harus bayar Rp 30 juta. Sebab, kabel ini lewat saluran air yang sudah ada dan juga dilalui kabel PLN yang tidak berbayar. Terus kenapa harus berbayar untuk kabel optik?" imbuh Gus Halim.
Pada saat bersamaan, ia juga menerima keluhan dari pihak Desa Bolali terkait adanya surat penolakan penurunan sewa dari PT KAI yang ditembuskan langsung ke pihak kejaksaan dan tidak harus melalui bupati terlebih dahulu.
Sebab, lanjut dia, adanya surat penolakan tersebut semakin menambah kekhawatiran warga desa.
"Ini harus dipertanyakan, apa maksudnya. Seharusnya tidak seperti itu dan ini juga akan kami sampaikan ke Dirut PT KAI," kata Gus Halim.
Baca juga: BUMDes di Klaten Diminta PT KAI Bayar Rp 30 Juta Per Tahun, Gus Halim Minta Keringanan
Selain pembebanan biaya Rp 30 juta, ia mengaku sangat menyayangkan pemotongan kabel fiber optik oleh PT KAI.
Pasalnya, pemotongan kabel fiber optic dilakukan pada saat anak-anak desa membutuhkan jaringan internet untuk ujian sekolah.
Di samping itu, menurut Gus Halim, pengembangan digitalisasi desa juga sangat berguna dan bermanfaat untuk memajukan perekonomian desa.