PENGEROYOKAN terhadap AA meninggalkan setidaknya dua pekerjaan rumah (PR) bagi kepolisian.
PR pertama. Pengeroyokan memang tidak bisa dibenarkan. Sudah sepatutnya Polda Metro Jaya mengusut tuntas.
Namun mengacu pada komentar-komentar publik bahwa kekerasan terhadap AA itu merupakan buah dari perilakunya sendiri, maka terbangun tafsiran bahwa aksi main hakim sendiri dapat digolongkan sebagai bentuk vigilantisme.
Vigilantisme merupakan respons masyarakat terhadap kerja kepolisian yang dinilai tidak efektif.
Frustrasi terhadap kerja aparat penegak hukum memang merupakan salah satu "syarat" bagi terjadinya vigilantisme.
Mengacu teori tersebut, spesifik dalam kasus AA, pengeroyokan dapat dipahami sebagai tanggapan terhadap kegagalan otoritas penegakan hukum dalam menindaklanjuti sekian banyak laporan masyarakat atas AA.
Andaikan polisi lebih serius menangani laporan-laporan masyarakat itu, maka patut diduga tidak akan terjadi aksi vigilantisme terhadap AA.
Sebagai perbandingan adalah reaksi khalayak luas dalam kasus-kasus penistaan agama.
Ketika pelaku penistaan agama diproses sesuai hukum, tidak ada penista agama yang menjadi bulan-bulanan masyarakat.
Jadi, PR pertama bagi kepolisian adalah menjalankan procedural justice. Yaitu, pertama, memastikan laporan masyarakat--khususnya terkait objek laporan masyarakat seperti dalam kasus AA--diproses sebagaimana mestinya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.