Kapolri saat itu, sebagaimana diberitakan media, mengatakan bahwa salah seorang korban bernama Ada Maulana Suryadi tewas 'diduga kekurangan oksigen'. Tapi pihak keluarga menemukan tanda-tanda kejanggalan pada tubuh korban.
Antara lain, bekas luka yang sudah membiru pada tubuh bagian atas jenazah. Juga telinga dan hidung korban terus mengeluarkan darah.
Sepertinya perlu ada otopsi terhadap tubuh almarhum guna memastikan penyebab sebenarnya kematian almarhum.
Tapi karena peristiwanya terjadi lebih dari dua tahun, mungkinkah otopsi dilakukan?
Korban berikutnya adalah anak berumur 15 tahun, Harun Al Rasyid. Berdasarkan pemberitaan media, polisi telah mendapatkan ciri-ciri orang yang menembak Harun.
Tapi sampai sekarang apakah pelaku telah ditangkap polisi?
Satu anak lagi, yaitu Bagus Putra Mahendra (15 tahun). Media online memuat perbedaan penjelasan tentang meninggalnya Bagus.
Kata KPAI, Bagus tewas tertabrak truk ketika pulang dari sekolah ke rumah.
Kapolsek Tanjung Priok mengatakan Bagus tewas saat long march bersama para pelajar lainnya ke Gedung DPR RI.
Sayangnya, tidak tersiar ke media simpulan akhir tentang nasib Bagus.
Akibatnya, ketika dua lembaga negara mempunyai penjelasan berbeda tentang meninggalnya Bagus, versi manakah yang layak masyarakat percayai?
Jadi, PR kedua bagi Polri adalah melakukan investigasi ulang atas kasus-kasus tewasnya warga sipil dalam situasi seputar demonstrasi 2019.
Sebagai perbandingan sederhana: ketika AA diproses cepat oleh kepolisian, bagaimana pula warga kebanyakan seperti Yadi, Harun, dan Bagus tentunya juga bisa lekas terealisasi keadilannya?
PR pertama mempersoalkan masalah efektivitas kerja kepolisian. Dengan PR kedua, bertambah satu isu lagi yang relevan dengan kerja polisi: nondiskriminasi.
Allahu a'lam.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.