Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Reza Indragiri Amriel
Alumnus Psikologi Universitas Gadjah Mada

Kekerasan dalam Situasi Unjuk Rasa, Polisi Akan Berbuat Apa?

Kompas.com - 14/04/2022, 03:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PENGEROYOKAN terhadap AA meninggalkan setidaknya dua pekerjaan rumah (PR) bagi kepolisian.

PR pertama. Pengeroyokan memang tidak bisa dibenarkan. Sudah sepatutnya Polda Metro Jaya mengusut tuntas.

Namun mengacu pada komentar-komentar publik bahwa kekerasan terhadap AA itu merupakan buah dari perilakunya sendiri, maka terbangun tafsiran bahwa aksi main hakim sendiri dapat digolongkan sebagai bentuk vigilantisme.

Vigilantisme merupakan respons masyarakat terhadap kerja kepolisian yang dinilai tidak efektif.

Frustrasi terhadap kerja aparat penegak hukum memang merupakan salah satu "syarat" bagi terjadinya vigilantisme.

Mengacu teori tersebut, spesifik dalam kasus AA, pengeroyokan dapat dipahami sebagai tanggapan terhadap kegagalan otoritas penegakan hukum dalam menindaklanjuti sekian banyak laporan masyarakat atas AA.

Andaikan polisi lebih serius menangani laporan-laporan masyarakat itu, maka patut diduga tidak akan terjadi aksi vigilantisme terhadap AA.

Sebagai perbandingan adalah reaksi khalayak luas dalam kasus-kasus penistaan agama.

Ketika pelaku penistaan agama diproses sesuai hukum, tidak ada penista agama yang menjadi bulan-bulanan masyarakat.

Jadi, PR pertama bagi kepolisian adalah menjalankan procedural justice. Yaitu, pertama, memastikan laporan masyarakat--khususnya terkait objek laporan masyarakat seperti dalam kasus AA--diproses sebagaimana mestinya.

Dan kedua, sesuai azas transparansi, publik diberi tahu ihwal langkah-langkah penegakan hukum yang telah diambil.

Dari PR pertama tersebut, pada tataran paling mendasar, polisi perlu terus-menerus diingatkan bahwa sikap positif publik terhadap polisi akan tercermin pada seberapa jauh kepatuhan masyarakat pada hukum.

Manakala vigilantisme terarah ke orang-orang dengan kriteria tertentu, maka patutlah kepolisian mengecek seberapa jauh efektivitas mereka dalam menangani kasus-kasus yang sesuai dengan kriteria tersebut.

PR kedua. Insiden yang dialami AA menciptakan momentum bagi Polri untuk me-review efektivitas kerja mereka dalam menangani tindak-tindak kekerasan dalam situasi unjuk rasa.

Termasuk, Polri perlu menuntaskan pengungkapan tewasnya sejumlah orang pada aksi demonstrasi September 2019.

Kapolri saat itu, sebagaimana diberitakan media, mengatakan bahwa salah seorang korban bernama Ada Maulana Suryadi tewas 'diduga kekurangan oksigen'. Tapi pihak keluarga menemukan tanda-tanda kejanggalan pada tubuh korban.

Antara lain, bekas luka yang sudah membiru pada tubuh bagian atas jenazah. Juga telinga dan hidung korban terus mengeluarkan darah.

Sepertinya perlu ada otopsi terhadap tubuh almarhum guna memastikan penyebab sebenarnya kematian almarhum.

Tapi karena peristiwanya terjadi lebih dari dua tahun, mungkinkah otopsi dilakukan?

Korban berikutnya adalah anak berumur 15 tahun, Harun Al Rasyid. Berdasarkan pemberitaan media, polisi telah mendapatkan ciri-ciri orang yang menembak Harun.

Tapi sampai sekarang apakah pelaku telah ditangkap polisi?

Satu anak lagi, yaitu Bagus Putra Mahendra (15 tahun). Media online memuat perbedaan penjelasan tentang meninggalnya Bagus.

Kata KPAI, Bagus tewas tertabrak truk ketika pulang dari sekolah ke rumah.

Kapolsek Tanjung Priok mengatakan Bagus tewas saat long march bersama para pelajar lainnya ke Gedung DPR RI.

Sayangnya, tidak tersiar ke media simpulan akhir tentang nasib Bagus.

Akibatnya, ketika dua lembaga negara mempunyai penjelasan berbeda tentang meninggalnya Bagus, versi manakah yang layak masyarakat percayai?

Jadi, PR kedua bagi Polri adalah melakukan investigasi ulang atas kasus-kasus tewasnya warga sipil dalam situasi seputar demonstrasi 2019.

Sebagai perbandingan sederhana: ketika AA diproses cepat oleh kepolisian, bagaimana pula warga kebanyakan seperti Yadi, Harun, dan Bagus tentunya juga bisa lekas terealisasi keadilannya?

PR pertama mempersoalkan masalah efektivitas kerja kepolisian. Dengan PR kedua, bertambah satu isu lagi yang relevan dengan kerja polisi: nondiskriminasi.

Allahu a'lam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sengketa Pileg di Papua Tengah, MK Soroti KPU Tak Bawa Bukti Hasil Noken

Sengketa Pileg di Papua Tengah, MK Soroti KPU Tak Bawa Bukti Hasil Noken

Nasional
Dilema Prabowo Membawa Orang 'Toxic'

Dilema Prabowo Membawa Orang "Toxic"

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Nasional
Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Nasional
Menakar Siapa Orang 'Toxic' yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Menakar Siapa Orang "Toxic" yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Nasional
Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Nasional
SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

Nasional
'Presidential Club', 'Cancel Culture', dan Pengalaman Global

"Presidential Club", "Cancel Culture", dan Pengalaman Global

Nasional
Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili dalam Kasus Gratifikasi dan TPPU

Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili dalam Kasus Gratifikasi dan TPPU

Nasional
Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang 'Toxic' ke Dalam Pemerintahan

Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang "Toxic" ke Dalam Pemerintahan

Nasional
Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Nasional
Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Nasional
Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Nasional
Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com