Sementara itu, Mendagri Tito Karnavian berpendapat masa kampanye sebaiknya 90 hari. Menurutnya, waktu tiga bulan untuk kampanye cukup, sehingga meminimalisasi keterbelahan masyarakat.
"Tiga bulan sudah cukup. Kami kira masyarakat juga tidak lama terbelah dan kami kira dengan adanya teknologi komunikasi media maupun sosmed jaringan kami kira ini waktunya cukup," kata Tito.
Adapun anggota Fraksi PDI-P Komarudin Watubun menyatakan, lamanya masa kampanye tidak menjamin kualitas pemilu. Karena itu, dia sepakat dengan Mendagri agar masa kampanye tidak perlu terlalu lama.
"Saya setuju usulan Pak Mendagri dipersingkat saja. Dari partai kami juga usul lebih turun lagi. Kalau memang 50 hari kenapa tidak kasih 50 hari saja, (kalau) dua minggu kenapa tidak," kata dia.
Sementara, anggota Fraksi PKS Mardani Ali Sera mengaku memahami usulan masa kampanye selama 120 hari. Namun, dia mengingatkan bahwa tren di publik menginginkan agar masa kampanye lebih singkat.
Kemudian, anggota Fraksi PKB Yanuar Prihatin sepakat usul soal masa kampanye dikaji ulang. Sebab, menurut dia, masa kampanye cukup memberikan dampak bagi proses demokrasi di Indonesia.
Baca juga: Perludem Dorong Penataan Ulang Jadwal Pilkada lewat Revisi UU atau Perppu
Adapun pada Pemilu 2019, dibutuhkan waktu selama lebih dari dua tahun untuk menyelenggarakan tahapan Pemilu, mulai dari Agustus 2017 sampai Oktober 2019. Tahapan itu meliputi perencanaan program dan anggaran hingga pengucapan sumpah/janji presiden dan wakil presiden juga anggota legislatif terpilih.
Beberapa tahapan Pemilu sendiri mulai dari pendaftaran dan verifikasi peserta, pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih, lalu pecalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi/kabupaten/kota, hingga pencalonan presiden dan wakil presiden.
Tahapan dilanjutkan dengan masa kampanye, pemungutan suara, rekapitulasi penghitungan suara, sampai penyelesaian sengketa hasil Pemilu.
Oleh karena Pilkada digelar serentak pada tahun 2024, maka tidak akan ada pemilihan kepala daerah di tahun 2022 dan 2023.
Sementara, ada 101 kepala daerah yang habis masa jabatannya pada tahun 2022 ini. Mereka adalah gubernur, bupati, dan wali kota yang terpilih melalui Pilkada 2017.
Kemudian, ada 170 kepala daerah yang masa jabatannya habis pada tahun 2023. Mereka merupakan gubernur, bupati, dan wali kota yang terpilih lewat Pilkada 2018.
Baca juga: Perludem: Tanpa Revisi UU Pemilu, Tren Peradilan Politik Akan Menguat
Untuk mengisi kekosongan jabatan itu, nantinya akan ditunjuk penjabat gubernur, bupati, dan wali kota di daerah-daerah yang terdapat kekosongan jabatan.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang telah disempurnakan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, para penjabat gubernur, bupati, dan wali kota akan bertugas hingga terpilihnya kepala daerah definitif pada Pilkada 2024.
"(Untuk mengisi kekosongan jabatan), diangkat penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat wali kota sampai dengan terpilihnya gubernur/wagub, bupati/wabup, serta wali kota/wakil wako melalui pemilihan serentak nasional pada tahun 2024," ujar Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Benni Irwan.
Baca juga: Komisi II Hormati Rencana UU IKN Mau Digugat ke MK
Guna mengisi kekosongan jabatan gubernur diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur.
Sementara itu, untuk mengisi kekosongan jabatan bupati/wali kota diangkat penjabat bupati/wali kota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan bupati dan wali kota.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.