JAKARTA, KOMPAS.com - Gugatan terhadap ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi (MK) terus bertambah panjang.
Para penggugat meminta ketentuan ambang batas diubah dari 20 persen menjadi 0 persen. Adapun ketentuan itu diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Catatan Kompas.com, pihak yang mengajukan gugatan, antara lain, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo dan tiga anggota DPD RI Fahira Idris, Tamsil Linrung, dan Edwin Pratama.
Baru-baru ini, ada pula seorang aparatur sipil negara (ASN) dari Jakarta Timur, Ikhwan Mansyur Situmeang dan 27 diaspora Indonesia yang tersebar di Amerika Serikat, Prancis, hingga Singapura yang mengajukan gugatan yang sama ke MK.
Baca juga: 27 Diaspora Indonesia Gugat Aturan Presidential Threshold 20 Persen ke MK
Dalam gugatannya, mereka menyatakan bahwa ambang batas pencalonan presiden membatasi hak konstitusional warga untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya calon presiden dan wakil presiden yang dihasilkan partai politik peserta dalam pemilu.
Selain itu, penggunaan ambang batas untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden dianggap potensial mengamputasi salah satu fungsi partai politik, yaitu menyediakan dan menyeleksi calon pemimpin masa depan.
Para penggugat sepakat, ketentuan Pasal 222 UU Pemilu itu bertentangan dengan UUD 1945.
Ambang batas 0 persen sulit terealisasi
Namun, dorongan untuk menjadikan ambang batas pencalonan presiden nol persen dipandang sebagai sesuatu hal yang sulit direalisasikan dalam praktik politik di Indonesia.
Sebab, dengan ambang batas nol persen, presiden terpilih akan kesulitan mewujudkan programnya lantaran tidak memiliki dukungan yang kuat di parlemen.
Mengutip dari Kompas.id, Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan, praktik politik di Indonesia menempatkan presiden terpilih harus memiliki dukungan yang cukup di parlemen.
Baca juga: ASN dari Jakarta Gugat Ketentuan Presidential Threshold 20 Persen ke MK
Hal itu diperlukan untuk memudahkan presiden dalam mengusulkan suatu kebijakan. Misalnya, rancangan undang-undang (RUU) tertentu. Hal ini juga berlaku dalam pencalonan kepala daerah.
Namun, presidential threshold 20 persen kursi parlemen yang diterapkan saat ini dinilai masih terlalu tinggi.
Sebagai dampaknya, sulit muncul calon-calon alternatif dalam kontestasi pemilu presiden (pilpres) atau calon presiden yang ada jumlahnya terbatas.
Menurut Arya, alternatif yang dapat ditempuh ialah menurunkan angka ambang batas tersebut ke angka yang moderat.