JAKARTA, KOMPAS.com - Hubungan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dengan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengalami pasang surut selama lebih dari satu dekade.
Meski tak pernah diakui keduanya secara gamblang, namun publik membaca gelagat perseteruan antara dua petinggi partai politik itu.
Sejak jabatan Megawati di kursi RI-1 digantikan SBY, keduanya sangat jarang terlihat bersama.
Kerenggangan hubungan keduanya bermula ketika SBY mencalonkan diri sebagai presiden di Pilpres 2004.
Baca juga: Guntur Soekarnoputra Ungkap Masa Kecil Megawati: Jago Main Bola
Sebelumnya, SBY menjabat sebagai Menteri Koordiantor Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) di Kabinet Gotong Royong pimpinan Megawati.
Ia mengemban jabatan itu sejak awal kabinet tersebut dibentuk Megawati dan Hamzah Haz, 10 Agustus 2001.
Kala itu, sejumlah elite PDI-P mempertanyakan keputusan Megawati yang menunjuk SBY sebagai menterinya.
Sebab, SBY dianggap terlibat dalam tragedi Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kuda Tuli) yang memporak-porandakan Kantor DPP PDI (nama PDI-P di era Orde Baru).
Tak hanya itu, keberadaan SBY dalam kabinet juga dipersoalkan karena merupakan menantu Sarwo Edhie Wibowo yang dianggap bersebrangan dengan Presiden Soekarno di era Orde Lama.
Baca juga: Cerita Pilot tentang Megawati: Daratkan Hercules A-1341 pada Penerbangan dari Bali ke Madiun
“Namun sikap Megawati Soekarnoputri yang lebih mengedepankan rekonsiliasi nasional dan semangat persatuan lalu mengatakan ‘Saya mengangkat Pak SBY sebagai Menko Polkam bukan karena menantu Pak Sarwo Edhie’,” kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P Hasto Kristiyanto melalui keterangan tertulis, Rabu (17/2/2021).
“Saya mengangkat dia karena dia adalah TNI, Tentara Nasional Indonesia. Ada 'Indonesia' dalam TNI sehingga saya tidak melihat dia menantu siapa. Kapan bangsa Indonesia ini maju kalau hanya melihat masa lalu?” tutur Hasto menirukan ucapan Megawati.
Namun rupanya, SBY tak menuntaskan jabatannya sebagai Menko Polkam hingga akhir masa kerja Kabinet Gotong Royong. Ia mundur pada 11 Maret 2004, sekitar sebulan sebelum Pilpres.
Selain mempersiapkan diri untuk pencalonan, kala itu berembus isu bahwa SBY merasa dizalimi Megawati sehingga memilih untuk mengundurkan diri.
Pada Pilpres 5 April 2004, SBY yang berpasangan dengan Jusuf Kalla berhadapan dengan Megawati yang mencalonkan diri bersama Hasyim Muzadi.
Baca juga: 17 Kursi Wamen di Kabinet Jokowi, Hampir Samai Kondisi Pemerintahan SBY
Kalla sebelumnya juga merupakan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan (Menko Kesra) di Kabinet Gotong Royong Megawati.
Secara mengejutkan, pasangan SBY-Kalla berhasil memenangkan pertarungan dengan meraup 39.838.184 atau 33,57 persen suara, diikuti Megawati-Hasyim Muzadi dengan 31.569.104 atau 26,61 persen suara.
Melalui Pilpres tersebut, Megawati mau tak mau merelakan kursi jabatannya untuk SBY.
Namun, Megawati tak menyerah. Ia kembali mencoba peruntungan di Pilpres 2009 bersama Prabowo Subianto.
Lagi-lagi, Megawati harus berhadapan dengan SBY. Kala itu SBY berpasangan dengan Boediono.
Namun, Megawati terpaksa kembali menelan pil pahit lantaran kalah telak dari SBY yang mendapatkan 73.874.562 atau 60,8 persen suara rakyat Indonesia. Sementara, ia sendiri hanya mengantongi 32.548.105 atau 26,79 suara.
Dengan rekam jejak tersebut, hawa panas antara Megawati-SBY pun menguat, disinyalir karena persaingan keduanya memperebutkan kursi RI-1.
Eskalasi situasi antara Megawati-SBY begitu terasa selama 2005-2014.
Buktinya, selama 10 tahun SBY menjabat sebagai presiden, tak sekalipun Megawati datang memenuhi undangan untuk hadir mengikuti upacara peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia di Istana.
Padahal, undangan untuk para mantan presiden dan wakil presiden pasti dikirim setiap tahunnya.
Biasanya, Megawati diwakilkan oleh suaminya Taufiq Kiemas dan putrinya yang kini menjabat sebagai Ketua DPR RI, Puan Maharani.
Sementara, Ketua Umum PDI-P itu lebih memilih memimpin upacara di kantor DPP PDI-P di Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Namun, setelah PDI-P berhasil mengantarkan Jokowi ke tampuk kekuasaan melalui Pilpres 2014, Megawati untuk pertama kalinya kembali ke Istana untuk merayakan HUT RI tahun 2015.
Baca juga: Jokowi: Kita Berpuluh Tahun Nyaman Impor, Tak Berpikir Rugikan Negara
Sebaliknya, sejak lengser, SBY, tak memenuhi undangan upacara di Istana pada 2015 dan 2016. Ketua Majelis Tinggi Partai Partai Demokrat itu baru kembali mengikuti upacara peringaatan HUT RI pada 17 Agustus 2017.
Megawati juga hadir dalam momen tersebut. Itulah kali pertama Megawati dan SBY reuni merayakan hari jadi Indonesia di Istana, sejak terakhir kali di tahun 2003.
Pada momen tersebut, Megawati dan SBY sempat bersalaman dan saling bertegur sapa.
Meski disinyalir punya hubungan yang tak rukun, rupanya Megawati pernah mewanti-wanti kadernya untuk tak menginterupsi SBY saat menyampaikan pidato kenegaraan.
Megawati bahkan mengancam akan memecat kader PDI-P yang nekat melakukan interupsi.
Hal itu diungkap oleh Sekretaris Kabinet (Seskab) yang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P 2005-2010, Pramono Anung, baru-baru ini.
"Bahkan pernah kejadian di tahun 2005-2006, teman-teman itu akan melakukan interupsi di sidang 17 Agustus-an, pada saat presiden (SBY) menyampaikan nota keuangan," kata Pramono dalam acara "Sikap Hidup Merawat Pertiwi", Minggu (23/1/2022).
"Itu Ibu (Megawati) marah sekali, marah dan memberikan perintah, 'siapa pun yang melakukan interupsi kepada presiden saya akan pecat saat itu juga'," tuturnya.
Baca juga: Apresiasi Megawati Larang Kader PDI-P Interupsi SBY, Politikus Demokrat Singgung Puan
Sikap tersebut, kata Pramono, menunjukkan bahwa Megawati selalu menjunjung tinggi konstitusi. Hal itu, kata dia, selalu diajarkan kepada kader-kader PDI-P di dalam maupun luar pemerintahan.
Lebih jauh, Pramono mengeklaim bahwa PDI-P memiliki sikap yang jelas sebagai partai politik.
Menurut dia, sebagai partai besar yang pernah berada di dalam maupun luar pemerintahan, PDI-P selalu punya sikap tegas untuk kemajuan negara.
"Kita partai yang kelaminnya jelas, mau jadi oposisi, oposisi betulan, ya mau jadi bagian dari pemerintah ya kita support betulan," kata Pramono.
Pramono mengatakan, saat PDI-P berada di luar koalisi pemerintahan di era SBY, partainya selalu memberikan kritik yang tajam.
"Ketika kita di luar pemerintahan pada periode pertama pemerintahan Pak SBY pasti mereka merasakan bagaimana PDI Perjuangan walaupun jumlah kursinya tidak banyak tetapi di parlemen kita sangat kuat," ucap Parmono.
"Dan kita mengkritisi dengan cara yang mungkin dianggap orang lebih cerdas. Sehingga selalu ada pembedanya, kalau kita misalnya mengkritik soal sesuatu, kita tidak hanya mengkritik, tetapi kita selalu memberikan solusi alternatif," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.