Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pernah Dapat Tanda Kehormatan dari Jokowi, Nakhoda KR Baruna Jaya “Ditendang” BRIN Usai Pengabdian 19 Tahun

Kompas.com - 07/01/2022, 05:39 WIB
Vitorio Mantalean,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Ratusan ilmuwan berstatus non-PNS dari sejumlah lembaga penelitian terpaksa angkat kaki setelah keberadaan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Tak terkecuali adalah ilmuwan-ilmuwan berstatus Pegawai Pemerintah Non-Pegawai Negeri (PPNPN) dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Pembentukan BRIN oleh Presiden RI Joko Widodo memaksa lembaga-lembaga penelitian, termasuk BPPT, dilebur ke dalam superbody tersebut secara struktural.

Salah satu ilmuwan BPPT yang dipaksa angkat kaki adalah Kapten Ishak Ismail, nakhoda Kapal Riset (KR) Baruna Jaya yang telah mengabdi 19 tahun.

Baca juga: Tak Ada Surat, Lisan Begitu Saja dari BRIN, Tanggal 1 Harus Hengkang Semuanya

Jokowi bahkan pernah menganugerahinya tanda kehormatan.

Namun ironis, Ishak menjadi salah satu dari sederet nama yang dianugerahkan oleh Presiden Jokowi tanda kehormatan Satyalancana Wira Karya pada 2015.

Kala itu, Ishak dianggap berperan penting dalam proses pencarian dan evakuasi pesawat terbang Air Asia QZ 8501.

Perannya juga tak bisa dikesampingkan dalam penemuan kotak hitam pesawat terbang tersebut kemudian.

Baca juga: Ironi Ilmuwan Pasca-peleburan BRIN: Yang Mengabdi, yang Terpaksa Angkat Kaki...

“Sebagai nakhoda KR Baruna Jaya, berhasil melakukan pencarian lokasi jatuhnya pesawat Air Asia QZ 8501 di perairan Selat Karimata Laut Jawa dan aktif melakukan kooridinasi dan kerja sama antara crew kapal dengan Balai Teknologi Survei Kelautan, sehingga semua crew pulang dengan selamat,” tulis Jokowi dalam Keppres Nomor 77/TK/Tahun 2015 yang ia teken.

Namun, lantaran berstatus PPNPN, nama Ishak termasuk dalam daftar ratusan ilmuwan BPPT yang terpaksa angkat kaki karena BRIN.

Rabu (6/1/2022), ia bersama sejumlah koleganya dari BPPT mendatangi kantor Komnas HAM di Jakarta, untuk mengadu soal nasib mereka setelah dipaksa hengkang dari BPPT. Mereka tidak meminta pesangon atau duit dalam bentuk apa pun, melainkan cukup dipekerjakan kembali.

Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Muhammad Syaugi memeriksa kondisi bagian dari kotak hitam (black box) pesawat Lion Air bernomor registrasi PK-LQP dengan nomor penerbangan  JT 610 yang telah ditemukan oleh tim SAR gabungan di KR Baruna Jaya I, di perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat, Kamis (1/11/2018). Bagian dari kotak hitam tersebut diserahkan ke pihak KNKT untuk dilakukan investigasi lebih lanjut. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj.MUHAMMAD ADIMAJA Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Muhammad Syaugi memeriksa kondisi bagian dari kotak hitam (black box) pesawat Lion Air bernomor registrasi PK-LQP dengan nomor penerbangan JT 610 yang telah ditemukan oleh tim SAR gabungan di KR Baruna Jaya I, di perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat, Kamis (1/11/2018). Bagian dari kotak hitam tersebut diserahkan ke pihak KNKT untuk dilakukan investigasi lebih lanjut. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj.

Ishak sempat berbagi cerita ketika duduk-duduk di trotoar depan kantor Komnas HAM bersama sejumlah awak media, menyesap segelas kopi dari pedagang starling, tetapi menolak untuk diwawancara secara resmi.

“Mau lanjut kuliah,” ucapnya singkat, tanpa menjelaskan kuliah apa yang tengah ia geluti.

Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, sore itu menyatakan bahwa pengabdian Ishak dkk semestinya dihargai negara.

Baca juga: Sumbangan Masjid, Kode Wali Kota Bekasi Minta Jatah ke Pengusaha

"Saya kira, tenaga-tenaga potensial atau sumber daya manusia yang potensial di republik ini harus dihargai sejarahnya dan perannya terhadap riset yang ada di Indonesia," kata dia.

“Meskipun tidak terlihat di media, atau terlihat di publik, tapi riset-riset yang ada itu juga saya kira membantu Indonesia lebih maju," ungkapnya.

Pengabdian tak dianggap

Sejumlah perwakilan BPPT di Komnas HAM menyebutkan, desas-desus bahwa mereka akan dipaksa hengkang per 2022 sudah terdengar sejak lama.

Namun, hal itu tak menyurutkan tanggung jawab mereka terhadap pekerjaan-pekerjaan yang menanti.

Begitu pun Ishak. Kapal yang ia nakhodai baru saja sandar di Pelabuhan Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta Utara, pada Kamis, 30 Desember 2021 setelah perjalanan melelahkan selama sebulan penuh keliling Indonesia.

Baca juga: Peleburan Eijkman ke BRIN yang Buat Peneliti Muda Mencari Rumah Baru

“Kami berangkat sejak satu bulan lalu itu dari Selat Sunda, Samudera Hindia, lalu Malang, Denpasar, habis itu ke Sumba yang waktu itu gempa 7,5 skala Richter. Terakhir itu kami (berlayar) dari Sumba,” ujar Andika, salah satu teknisi ahli Balai Teknologi Survei Kelautan (Teksurla) BPPT yang ikut dalam perjalanan tersebut, Rabu.

Di tempat-tempat tersebut, Andika dkk melakukan pemetaan sekaligus pemasangan alat-alat deteksi dini tsunami dan gempa.

Pekerjaan ini merupakan bagian dari proyek InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System – Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia) hasil pengembangan BPPT.

Baca juga: Lurah, Camat, sampai Kepala Dinas Jadi Kaki Tangan Wali Kota Bekasi untuk Terima Suap

Proyek ini sangat krusial dalam mempercepat informasi peringatan dini potensi tsunami, menggunakan sensor di dasar laut guna yang melihat perbedaan-perbedaan tekanan air.

Data dari sensor itu lalu secara aktif dikirim ke buoy (pelampung) di permukaan laut melalui underwater acoustic modem.

KR Baruna Jaya I milik BPPT yang juga dikerahkan dalam pencarian pesawat Lion Air JT 610 di perairan Tanjung Karawang. KR Baruna Jaya I milik BPPT yang juga dikerahkan dalam pencarian pesawat Lion Air JT 610 di perairan Tanjung Karawang.

Pelampung tersebut kemudian mentransmisikan data itu ke InaTOC (Indonesia Tsunami Observation Center – Pusat Pemantauan Tsunami Indonesia) di Jakarta.

“(Pemasangannya) sudah selesai semua. Sudah ada data gempa yang terkirim ke InaTOC di Thamrin itu. Jadi, kami pasang sudah langsung terhubung,” ujar Andika.

Usai merampungkan pekerjaan yang bisa menyelamatkan puluhan, ratusan, bahkan ribuan nyawa itu, Andika dan kolega hanya dapat mengambil napas panjang sesaat.

Baca juga: Seputar Baruna Jaya yang Disiagakan Cari Sriwijaya Air: Pernah Temukan FDR Kotak Hitam Lion Air

Andika bercerita, hari itu juga, seseorang yang mengaku perwakilan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) datang ke kapal.

Tidak ada pertemuan resmi atau pengumpulan seluruh ilmuwan dan awak kapal.

Yang ia tahu, setelah perwakilan BRIN itu datang, mereka semua dipaksa menelan pil pahit menjelang tahun baru.

Baca juga: Minta Uang Jabatan dari Pegawai Pemkot, Wali Kota Bekasi Diduga Terima Ratusan Juta

Mereka diperintahkan mengosongkan KR Baruna Jaya, kapal yang bukan sekadar alat transportasi bagi mereka, melainkan juga telah menjelma kantor atau boleh jadi rumah kedua.

Apa boleh buat, palu telah diketuk. Andika, juga Ishak, tak peduli seberapa dalam dan seberapa dahsyat pengabdian yang telah dicurahkan selama ini, harus berkemas.

“Tidak ada surat juga, jadi lisan begitu saja dari pihak BRIN, cuma ngomong bahwa tanggal 1 (Januari 2022, kami) harus hengkang semuanya. Ya sudah, begitu saja,” ucap Andika.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com