Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Erwin Hutapea
ASISTEN EDITOR

Penyelaras Bahasa dan penulis di Kompas.com, pemerhati kebahasaan, dan pengelola media sosial Bicara Bahasa

Sumpah Pemuda dan Kedaulatan Bahasa Indonesia

Kompas.com - 28/10/2021, 05:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Bayu Galih

Itu pun belum bicara soal kata “venue” yang lebih kerap disebut daripada "arena" dan "gelanggang".

Pun demikian dengan nama cabang olahraga dan nomor yang dilombakan, antara lain aeromodeling, softball, voli indoor dan outdoor, canoeing, rowing, traditional boat race, baseball, dan rugby, yang juga bisa dan malah sudah diindonesiakan.

Satu sampel lagi mengenai betapa tidak berdaulatnya bahasa Indonesia di dalam kehidupan warganya sendiri yakni di bidang seni, termasuk perfilman.

Saat Malam Nominasi Festival Film Indonesia 2021 yang digelar pada Minggu (10/10/2021), terkhusus dalam kategori Film Dokumenter Pendek Terbaik, ada lima film yang masuk nominasi.

Kelima film itu berjudul Different Touch in Batik, Love Birth Life, Noken Rahim Kedua, Scene From The Unseen (Merupa), dan Three Faces in the Land of Sharia.

Perhatikan saja, ironisnya, dari lima film tersebut, cuma satu yang judulnya berbahasa Indonesia, sedangkan yang lain berbahasa Inggris.

Entah apa alasan para sutradara dan produsernya sehingga memilih bahasa asing dalam tajuk karya mereka, padahal isinya terkait dengan kehidupan di bumi Nusantara.

Saya pun tidak berhak menyalahkan atau membenarkan mereka. Namanya juga karya seni, ya suka-sukanya yang bikinlah.

Baca juga: Salah Kaprah Bahasa, antara Ketidaktahuan dan Kemalasan (1)

Kedaulatan bahasa Indonesia

Dari beberapa contoh di atas, setidaknya kita punya ilustrasi betapa karut-marut dan kurang dihargainya bahasa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di wilayahnya sendiri, bahkan dalam ranah pemerintahan.

Penghargaan itu tidak hanya dalam penggunaannya secara formal dan informal, tetapi juga dari segi detail kebahasaannya, misalnya diksi atau pilihan kata, ejaan, tanda baca, salah kaprah, dan struktur kalimat.

Seorang kolega pernah bertanya, manakah yang benar antara kata “sertipikat” dan “sertifikat”? Sebab, dalam dokumen legal mengenai kepemilikan tanah yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional tertulis “sertipikat”.

Sementara itu, pada Kamus Besar Bahasa Indonesia di bawah naungan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa tercatat kata “sertifikat”. Ini salah satu contoh kurangnya koordinasi tentang kebahasaan di tingkat lembaga negara sekalipun.

Padahal, terkait bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sudah jelas diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Di samping itu, ada Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, serta Peningkatan Fungsi Bahasa.

Baca juga: Salah Kaprah Bahasa, antara Ketidaktahuan dan Kemalasan (2)

Peraturan tersebut menguatkan kedudukan bahasa Indonesia sebagai simbol dan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi suatu bangsa, sekaligus menciptakan ketertiban, kepastian, dan standardisasi penggunaan bahasa.

Jika kedaulatan negara bermakna kekuasaan tertinggi ada pada negara, kedaulatan bahasa Indonesia pun seharusnya dimafhumi bahwa kekuasaan tertinggi dipegang oleh bahasa Indonesia.

Seperti ada slogan yang berbunyi, “Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing”. Artinya, boleh saja kita mahir berbahasa daerah dan fasih berbahasa asing, tetapi jangan lupa bahwa bahasa Indonesia tetap yang utama.

Jangan sampai rasa nasionalisme kita terus menurun sehingga akhirnya nanti anak cucu kita tidak mengerti mana bahasa Indonesia yang baik dan benar, apalagi menyadari arti pentingnya dalam berbangsa dan bernegara.

Kehidupan kita sudah dijejali dengan berbagai bahasa asing dan bahasa daerah yang seliweran setiap hari sehingga kedaulatan bahasa Indonesia itu bisa amblas bila tidak dijaga. Maka dari itu, bahasa Indonesia harus menjadi tuan rumah di negaranya sendiri.

Siapa pun Anda, dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas hingga Kepulauan Rote, dari anak muda sampai usia renta, dan dari rakyat jelata hingga pejabat tinggi negara, semuanya berkewajiban menegakkan kedaulatan bahasa Indonesia di wilayah Tanah Air.

Kini, cita-cita para pendiri bangsa Indonesia kembali ke diri kita masing-masing sebagai warga negara yang mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia; berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Selamat mengamalkan Sumpah Pemuda....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com