Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wildan Hakim
Peneliti dan Dosen

Wildan Hakim, Peneliti di Institut Riset Indonesia (INSIS), Dosen di Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia.

Perempuan dan Regenerasi Kepemimpinan Nasional 2024

Kompas.com - 19/09/2021, 20:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

LENGSERNYA Soeharto pada 21 Mei 1998 menandai babak baru perpolitikan Indonesia. Ini seturut pudarnya dominasi Golongan Karya (Golkar) pasca-reformasi.

Situasi tersebut membuka peluang baru bagi sekian banyak tokoh politik di Indonesia untuk mendirikan partai politik (parpol) baru dan berkontestasi pada pemilu pertama di era reformasi yang diselenggarakan pada 7 Juni 1999.

Ada yang menyebut, penyelenggaraan Pemilu 1999 merupakan langkah berani Presiden Ketiga Indonesia BJ Habibie untuk menyelamatkan demokrasi di Indonesia.

Saat itu, pemilu diikuti 48 parpol. Ada tiga parpol lama dan selebihnya merupakan parpol baru.

Pemilu yang menelan dana Rp 1,3 triliun tersebut menghasilkan lima pemenang dengan raihan suara terbesar yakni PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PKB, dan PAN.

Selaku pemenang pemilu dengan perolehan 33,74 persen suara, PDI Perjuangan seharusnya berpeluang besar menjadikan Megawati Soekarnoputri sebagai presiden.

Namun, politik sebagai seni dan the real politic menggagalkan langkah Megawati sebagai orang nomor satu di Republik ini.

Dalam voting yang berlangsung menegangkan, Abdurrahman Wahid terpilih sebagai presiden. Pendiri PKB—parpol peraih urutan terbesar keempat suara—itu kemudian disumpah sebagai Presiden Keempat Republik Indonesia.

Baca juga: Memahami Megawati Soekarnoputri...

Boleh saja ini dianggap sebagai sebuah kebetulan. Namun, nuansa penolakan terhadap Megawati untuk bisa menjadi presiden terasa begitu kuat saat itu.

Para politikus yang didominasi pria belum rela jika Indonesia dipimpin oleh seorang perempuan dari parpol berlatar belakang nasionalis.

Babak baru politik nasional

Terpilihnya Gus Dur—panggilan untuk Abdurrahman Wahid—sebagai Presiden Keempat Indonesia menempatkan Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden Kedelapan Indonesia.

Megawati yang selama Orde Baru berseberangan dengan Istana, pada 1999 bertransformasi menjadi tokoh sangat penting yang dekat dengan Istana. Megawati menjadi perempuan pertama Indonesia yang menjadi wakil presiden.

Seturut dinamika politik, putri sang proklamator itu pun lalu dilantik menjadi Presiden Kelima Indonesia pada 23 Juli 2001. Di tahap ini, ungkapan populer dari Megawati yang menyebut bahwa hidup itu ibarat cakra manggilingan benar-benar terbukti.

Cakra manggilingan merupakan filosofi Jawa yang menjelaskan bahwa kehidupan itu berjalan dinamis seperti roda yang berputar. Ada saatnya bagian roda berada di atas dan kemudian berpindah ke bawah.

Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri menyampaikan pidato saat pengumuman pasangan calon kepala daerah di kantor PDI-P, Menteng, Jakarta, Rabu (19/2/2020).DOK PDI-P Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri menyampaikan pidato saat pengumuman pasangan calon kepala daerah di kantor PDI-P, Menteng, Jakarta, Rabu (19/2/2020).

Di masa Orde Baru, PDI—cikal bakal PDI-P yang pecah karena intervensi pemerintah—selalu berada di urutan terakhir dalam hal perolehan suara, yaitu urutan ketiga dari tiga kekuatan politik yang saat itu boleh ikut pemilu.

Baca juga: Kejatuhan (daripada) Soeharto

Namun, pada Pemilu 1999, parpol urutan buncit yang sudah menggunakan terminologi nama baru yaitu PDI Perjuangan atau PDI-P itu melejit menjadi nomor satu.

Perolehan suara PDI Perjuangan dari setiap pemilu tidak lepas dari figur Megawati. Keputusan Megawati untuk berpolitik terikat erat dengan garis genetiknya sebagai anak Sukarno.

Megawati adalah putri presiden yang melihat langsung saat sang ayah diusir dari Istana Negara dan kemudian dibatasi ruang gerak politiknya oleh rezim Orde Baru.

Merujuk pada Tri Marhaeni Pudji Astuti (1994), terdapat lima faktor dasar yang memengaruhi kemunculan Megawati sebagai tokoh serta pemimpin organisasi politik.

Kelima faktor dasar itu adalah budaya patriarki, pertalian keluarga, kelas sosial, konteks sejarah, dan sistem pemilihan umum.

Politik merupakan medan perjuangan bagi seorang Megawati. Meski budaya patriarki di negeri ini masih terbilang kuat, Megawati terbukti bertahan di tengah dominasi politikus laki-laki.

Ini terkait erat dengan sosok Mega sebagai putri Bung Karno. Massa PDI Perjuangan diikat kuat dengan identitas putri proklamator.

Di sini, Megawati menerima takdirnya sebagai putri presiden yang kemudian menempatkannya pada kelas sosial tertentu.

Baca juga: Rezim Soekarno, Soeharto, dan 20 Tahun Reformasi, dalam Hal Ekonomi

Pada tahapan berikutnya, konteks sejarah—yakni jatuhnya pemerintahan Soeharto yang diikuti dengan perubahan sistem pemilihan umum di Indonesia—membuka peluang bagi Megawati untuk menjadi presiden.

Setiap peristiwa politik pasti dipengaruhi oleh konteks sejarah yang menuntut adanya perubahan pada titik tertentu.

Menanti pilihan Megawati

Sepanjang Pemilu 1999, 2004, dan 2009, Megawati menjadi satu-satunya politikus perempuan yang berkontestasi untuk menjadi Presiden RI.

Tampilnya Megawati sebagai capres dalam Pilpres 2004 dan 2009 membuktikan kuatnya keteguhan sosok perempuan yang berkarier sebagai politikus.

Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto dalam Pilpres 2009. Mengakhiri kampanye, calon presiden Megawati Soekarnoputri didampingi calon wakil presiden Prabowo Subianto tampil di Lapangan Simpang Lima, Kota Semarang,Jawa Tengah, Sabtu (4/7/2009).KOMPAS/ BAHANA PATRIA GUPTA Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto dalam Pilpres 2009. Mengakhiri kampanye, calon presiden Megawati Soekarnoputri didampingi calon wakil presiden Prabowo Subianto tampil di Lapangan Simpang Lima, Kota Semarang,Jawa Tengah, Sabtu (4/7/2009).

Tentu, beban mental yang dirasakan Megawati tidaklah ringan.

Pada Pilpres 2004, istri Taufiq Kiemas itu diharuskan bersaing ketat dengan sejumlah tokoh politik yang menjadi bagian penting dari Orde Baru. Di antara mereka ada Susilo Bambang Yudhoyono, Wiranto, dan Agum Gumelar.

Namun, pada 2009, Megawati justru berpasangan dengan Prabowo Subianto yang pernah menjadi menantu Soeharto.

Langkah-langkah politik mbak Mega—panggilan Megawati—memperlihatkan keluwesan sekaligus kepraktisan dalam memilih pasangan cawapres.

Pada 2004, Megawati berpasangan dengan Kiai Hasyim Muzadi. Lalu, pada 2009, Mega berpasangan dengan Prabowo yang berlatar belakang militer.

Baca juga: 25 Tahun Kudatuli: Peristiwa Mencekam di Kantor PDI

Meski disibukkan dengan aktivitas politik yang menggerus energi, Megawati terhitung sukses mengelola urusan rumah tangganya bersama Taufiq Kiemas yang juga berkarier sebagai politikus.

Keharmonisan rumah tangga ini menjadi modal sangat penting bagi seorang tokoh publik perempuan.

Dalam catatan Tri Marhaeni Pudji Astuti (2008), budaya patriarki menuntut politikus perempuan di Indonesia tidak punya cedera di mata publik.

Sebaliknya, politikus laki-laki mendapatkan perlakuan yang berbeda. Andai ada politikus laki-laki yang rumah tangganya tidak harmonis, kesalahan tidak langsung ditujukan kepada si politikus.

Kini, menjelang regenerasi kepemimpinan nasional 2024, terlihat sudah ada empat nama yang sedang membangun popularitas, baik di jagat maya maupun di jagat nyata. Mereka adalah Puan Maharani, Airlangga Hartarto, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Muhaimin Iskandar.

Tiga nama terakhir menjabat sebagai ketua umum parpol. Artinya, mereka berpeluang besar disodorkan namanya baik sebagai capres maupun cawapres.

Ketua DPR Puan Maharani (kanan) didampingi Ketua MPR Bambang Soesatyo (kiri) pidato pengantar dalam rangka Sidang Bersama DPR-DPD di Ruang Rapat Paripurna, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (14/8/2020). Sidang Tahunan kali ini dihadiri oleh anggota MPR/DPR/DPD secara fisik dan virtual akibat pandemi Covid-19.ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY Ketua DPR Puan Maharani (kanan) didampingi Ketua MPR Bambang Soesatyo (kiri) pidato pengantar dalam rangka Sidang Bersama DPR-DPD di Ruang Rapat Paripurna, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (14/8/2020). Sidang Tahunan kali ini dihadiri oleh anggota MPR/DPR/DPD secara fisik dan virtual akibat pandemi Covid-19.

Puan yang kini menjabat Ketua DPR bukan ketua umum parpol. Jabatannya di parpol adalah Ketua DPP PDI Perjuangan.

Hingga hari ini, PDI Perjuangan belum mengumumkan secara resmi sosok yang akan dicalonkan pada 2024. Munculnya nama Puan sejauh ini sebatas dugaan yang dikorelasikan dengan baliho dan spanduk yang belakangan marak.

 Baca juga: Menangkap Pesan Kebhinekaan di Baliho Puan Maharani yang Jadi Polemik

Perbedaan status Puan Maharani dengan ketiga kompetitornya, menjadikan putri Megawati ini lebih berhati-hati saat mengomunikasikan pesan-pesan politiknya.

Meski para kader di sejumlah daerah sudah menyatakan dukungan untuk menjadikannya capres, mbak Puan masih mengedepankan soft selling.

Terlepas dari hitungan elektabilitas yang bergerak dinamis, kemunculan Puan Maharani dalam kontestasi menambah daya tarik regenerasi kepemimpinan nasional 2024.

Bila direstui Megawati, Puan akan menjadi salah satu atau bahkan satu-satunya politikus perempuan dalam pusaran regenerasi kepemimpinan nasional pada 2024.

Tentunya, laku politik yang harus dijalani tidak akan mudah. Namun, lima faktor dasar yakni budaya patriarki, pertalian keluarga, kelas sosial, konteks sejarah, dan sistem pemilihan umum akan berkontribusi positif terhadap langkah Puan selanjutnya.

Dari sisi budaya patriarki, Puan sudah membuktikan diri sukses menjadi perempuan pertama yang menjabat Ketua DPR RI.

Rumah tangganya yang harmonis berkontribusi terhadap ketenangan Puan dalam menjalankan tugas-tugas politiknya. Keharmonisan keluarga menjadi modal strategis bagi tokoh politik yang hendak menjadi capres atau cawapres.

Puan selaku cucu proklamator bisa menjadi magnet bagi kelompok tua yang hingga hari ini masih mengidolakan Bung Karno.

Dilihat dari konteks sejarah, selama 18 tahun terakhir, presiden Indonesia adalah laki-laki. Kiranya, sentimen pemilih perlu diuji dengan menghadirkan capres perempuan yang terbukti berpengalaman di eksekutif dan legislatif.

Dengan posisi saat ini, PDI Perjuangan menggenggam tiket untuk bisa mengusung sendiri calon presidennya. Namun, keputusan itu harus ditanyakan kepada Megawati selaku Ketua Umum PDI Perjuangan.

Di Indonesia, kehadiran pemimpin perempuan sudah diterima di berbagai level. Bupati, wali kota, gubernur, menteri, dan bahkan presiden perempuan mendapatkan ruang setara dalam sistem demokrasi elektoral di negeri ini.

Dalam salah satu unggahannya di akun Instagram @ketua_dprri, Puan menyatakan bahwa perempuan butuh berpolitik karena politik butuh perempuan.

Jauh sebelumnya, Vicky Randall (1982) menyatakan, jika jumlah perempuan lebih banyak dalam proses pengambilan keputusan maka fokus kehidupan politik juga akan berubah.

Kehadiran perempuan akan memperluas cakupan kerja politik. Sebab, isu-isu yang semula dianggap bukan isu politik seperti kesejahteraan anak dan perlindungan terhadap reproduksi perempuan akan menjadi perhatian yang serius di mata politikus perempuan.

Menghadirkan capres perempuan bisa menjadi jurus diferensiasi dalam pemasaran politik di tengah deretan nama politikus laki-laki. Namun, semuanya masih harus menunggu dhawuh (baca: perintah) ibu Megawati.

Apakah sosok perempuan akan benar-benar turut menyemarakkan pesta demokrasi pada 2024?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jokowi Suntik Modal Hutama Karya Rp 18,6 T untuk Pembangunan Tol Sumatera

Jokowi Suntik Modal Hutama Karya Rp 18,6 T untuk Pembangunan Tol Sumatera

Nasional
Ke Kader yang Akan Ikut Pilkada, Megawati: Kalau Bohong, Lebih Baik Tidak Usah

Ke Kader yang Akan Ikut Pilkada, Megawati: Kalau Bohong, Lebih Baik Tidak Usah

Nasional
Hakim: Hinaan Rocky Gerung Bukan ke Pribadi Jokowi, tetapi kepada Kebijakan

Hakim: Hinaan Rocky Gerung Bukan ke Pribadi Jokowi, tetapi kepada Kebijakan

Nasional
Belum Putuskan Maju Pilkada di Mana, Kaesang: Lihat Dinamika Politik

Belum Putuskan Maju Pilkada di Mana, Kaesang: Lihat Dinamika Politik

Nasional
Jokowi Bakal Diberi Posisi Terhormat, PDI-P: Untuk Urusan Begitu, Golkar Paling Sigap

Jokowi Bakal Diberi Posisi Terhormat, PDI-P: Untuk Urusan Begitu, Golkar Paling Sigap

Nasional
PPP Jadi Partai yang Gugat Sengketa Pileg 2024 Terbanyak

PPP Jadi Partai yang Gugat Sengketa Pileg 2024 Terbanyak

Nasional
Wapres Doakan Timnas Indonesia Melaju ke Final Piala Asia U23

Wapres Doakan Timnas Indonesia Melaju ke Final Piala Asia U23

Nasional
Ada 297 Sengketa Pileg 2024, KPU Siapkan Pengacara dari 8 Firma Hukum

Ada 297 Sengketa Pileg 2024, KPU Siapkan Pengacara dari 8 Firma Hukum

Nasional
Novel Baswedan dkk Laporkan Nurul Ghufron ke Dewas KPK, Dianggap Rintangi Pemeriksaan Etik

Novel Baswedan dkk Laporkan Nurul Ghufron ke Dewas KPK, Dianggap Rintangi Pemeriksaan Etik

Nasional
Kumpulkan Seluruh Kader PDI-P Persiapan Pilkada, Megawati: Semangat Kita Tak Pernah Pudar

Kumpulkan Seluruh Kader PDI-P Persiapan Pilkada, Megawati: Semangat Kita Tak Pernah Pudar

Nasional
Indonesia U-23 Kalahkan Korsel, Wapres: Kita Gembira Sekali

Indonesia U-23 Kalahkan Korsel, Wapres: Kita Gembira Sekali

Nasional
Jokowi Tunjuk Luhut Jadi Ketua Dewan Sumber Daya Air Nasional

Jokowi Tunjuk Luhut Jadi Ketua Dewan Sumber Daya Air Nasional

Nasional
Di Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional, Fahira Idris Sebut Indonesia Perlu Jadi Negara Tangguh Bencana

Di Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional, Fahira Idris Sebut Indonesia Perlu Jadi Negara Tangguh Bencana

Nasional
297 Sengketa Pileg 2024, KPU Siapkan Bukti Hadapi Sidang di MK

297 Sengketa Pileg 2024, KPU Siapkan Bukti Hadapi Sidang di MK

Nasional
Meski Anggap Jokowi Bukan Lagi Kader, Ini Alasan PDI-P Tak Tarik Menterinya dari Kabinet

Meski Anggap Jokowi Bukan Lagi Kader, Ini Alasan PDI-P Tak Tarik Menterinya dari Kabinet

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com