Tidak sedikit orang-orang pintar yang dikirim Bung Karno untuk tugas belajar itu hidup mengenaskan di negeri orang.
Alumni Universitas Lomonosov, Uni Soviet (sebelum menjadi Rusia) bergelar doktor, Supardi Adiwijaya, sempat menjadi sopir angkut logistik di Belanda sebelum pensiun di usia senja.
Cita-cita hidupnya hanya ingin pulang ke tanah air. Supardi yang beristrikan Tatiana, perempuan Uni Soviet, sempat mengurus paspor yang berbelit prosedurnya di Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag, Belanda sebelum ajal menjemput saat bermain bulutangkis pada 2012.
Walau teregister sebagai warganegara dari negara yang pernah menjajah negerinya, jiwa Supardi tetap merah putih.
Sejak Soeharto berkuasa puluhan tahun hingga tumbang dan berlanjut era sekarang, kasus pencabutan paspor pasca-Peristiwa 1965 yang tergolong pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) berat masih juga menggantung tanpa penyelesaian.
Putu Laxman Pendit, seperti diungkap Kompas.com beberapa waktu lalu, adalah segelintir ilmuwan langka yang menggeluti kajian perpustakaan dan informasi di Australia.
Putu yang bergelar doktor ini tidak bisa berkiprah mengembangkan keilmuannya di tanah airnya sendiri karena memang negara saat itu tidak menghendaki dia pulang.
Putu yang menuntaskan pendidikan S-2 di Loughborough University of Technology, Inggris dan S-3 di Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT) Australia merupakan pengembang ilmu perpustakaan di Indonesia.
Bersama Profesor Sulistyo Basuki ia mendirikan program magister perpustakaan di Universitas Indonesia (UI) pada 1993. Saat itu, hanya ada dua institusi pendidikan di tanah air yang mendidik sarjana bidang perpustakaan yakni UI dan Universitas Padjadjaran.
Ketika kembali ke tanah air usai menuntaskan program masternya pada1988, ketersediaan sumber daya pustakawan saat itu sangat memprihatinkan.
Mereka yang bekerja di perpustakaan umumnya orang buangan atau terpaksa bekerja di tempat “kering” itu. Belum lagi rezim Orde Baru yang tengah berkuasa dengan kuatnya melakukan pengawasan ketat dan birokratisasi yang aneka kelembagaan (Kompas.com, 29/07/2021).
Baca juga: Kisah Putu Pendit, Doktor Perpustakaan yang Tak Dapat Tempat di Indonesia
Usai menamatkan pendidikan doktoralnya atas biaya sendiri di RMIT Australia, justru keahlian Putu tidak dihargai UI.
Usulan mantan wartawan ini untuk mengembangkan program studi double degree di UI dengan RMIT ditampik UI dengan alasan yang menurut dia dibuat-buat. Bahkan UI memecat Putu dengan tidak hormat di 2007.
Putu yang sudah mendapatkan tawaran permanent residence selepas lulus S-3 dari Australia, akhirnya memilih menetap di benua kangguru mengingat status pegawai negerinya di UI telah berakhir.
Bisa jadi, pemecatan Putu terkait dengan sejarah masa lalu ibunya yang juga dipecat dari UI karena terkait dengan gerakan “kiri” walau dengan alasan yang berbeda.
Ibunda Putu, Ni Luh Putu Murtini, adalah Ketua Jurusan Ilmu Perpustakaan UI tahun 1964-1966 serta lulusan Library School Columbia University New York. Ni Luh termasuk salah satu pustakawan awal lulusan luar negeri.
Hanya karena Ni Luh Putu menghadiri Kongres Himpunan Sarjana Indonesia yang dianggap pro PKI maka Kepala Perpustakaan Yayasan Idayu itu dipecat.
Sewaktu ibu hingga anaknya, Putu, bekerja, Orde Baru sangat ketat memberlakukan kebijakan program bersih lingkungan. Siapapun yang terkait “kiri” dari garis keturunan ke atas atau ke bawah, ke kanan atau ke kiri, akan disingkarkan oleh aparat-aparat Soeharto.
Walau terbuang ke negeri orang, Putu tetap berjasa untuk tanah airnya. Berkat sumbangsih keilmuannya, kini telah berdiri program studi perpustakaan di hampir 60 perguruan tinggi negeri dan swasta.