Karena sekolah ini tidak ditujukan untuk mereka yang asing dengan demokrasi, maka materi yang diberikan lebih berupa stimulus untuk merangsang terciptanya dialog sehingga lebih berisi tema-tema yang merefleksikan problem demokrasi kita seperti kemunduran demokrasi, kuatnya oligarki dan absennya demos, langkanya kreativitas dan imajinasi politik, tidak efektifnya sistem pemilu, lemahnya partai politik, lemahnya check and balance, rendahnya literasi digital, korupsi, perusakan lingkungan, tergerusnya kebebasan sipil termasuk kebebasan akademik dan sebagainya.
Sebagaimana diungkapkan di depan, semua materi pembelajaran disampaikan dalam suasana dialog yang egaliter sehingga semua peserta bisa ikut menyampaikan pikiran dan refleksi secara setara.
Tak hanya itu, forum dialog sesungguhnya tidak berakhir ketika sekolah demokrasi berakhir selama 2 minggu itu. Ini justru baru permulaan. Karena para peserta sekolah demokrasi itu kemudian akan tergabung dalam satu grup WhatsApp besar dan menjadi bagian dari keluarga besar LP3ES.
Dengan fasilitas kemajuan teknologi itu, dialog tentang masalah-masalah demokrasi berlangsung dengan alamiah dan egaliter dengan suasana yang hangat dan mengutamakan spirit kemanusiaan meskipun tak jarang diskusinya juga bisa menjadi panas dan serius.
Dan sesungguhnya tak hanya diskusi. Di forum WAG itu, rasa solidaritas juga terbangun di antara alumni sekolah demokrasi termasuk jika ada di antara anggota keluarga yang sakit atau meninggal di masa pandemi ini. Dengan demikian, situasi pembelajaran yang menekankan pada pengasahan cipta, rasa dan karsa dapat terwujud.