Di sinilah "demokrasi tanpa demos" akhirnya dipilih menjadi judul buku karena kami memaknai ini sebagai situasi demokrasi memang dilaksanakan secara prosedural tetapi secara substansi tidak dilaksanakan untuk kepentingan rakyat sebagaimana mestinya.
Sebaliknya, demokrasi hanya digunakan sebagai alat bagi sekelompok elite oligarki untuk mendapatkan kekuasaan dan sumber daya. Demokrasi telah mengkhianati asal usul makna yang tertanam: demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan.
Demokrasi semestinya mampu menjadi sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam konteks ini, demokrasi tanpa demos tentu merupakan anomali, atau bahkan kontradiktif.
Demokrasi tanpa demos tentu bukan yang diharapkan menjadi akhir dari kisah demokrasi di Indonesia di era Reformasi. Oleh karena itu, upaya penyelesaian kompleksitas permasalahan yang menantang dan menghambat demokrasi perlu segera dilakukan.
Secara rinci, banyak penulis dalam buku ini menguraikan solusi yang harus diambil, mulai dari reinterpretasi konsep demokrasi Indonesia, rekayasa sistem pemilu dan partai politik, pembenahan serangkaian regulasi hukum dan pemerintahan, reformasi institusi demokrasi, penguatan kesetaraan gender, dan sebagainya. Singkatnya, banyak obat yang bisa digunakan untuk menyuburkan demokrasi yang bisa disesuaikan dengan berbagai gejala yang menyertainya.
Namun, kami mencatat satu hal penting sebagai kunci untuk membawa kembali demos secara keseluruhan dalam demokrasi di Indonesia, yaitu mengembalikan rakyat dan kepentingan sebagai episentrum demokrasi.
Siapa pun dan apa pun yang dilakukan dalam penyelenggaraan pemerintahan, demokrasi harus didasarkan pada kepentingan rakyat, tidak ada yang lain. Menurut hemat kami, langkah nyata yang dapat dilakukan saat ini untuk mewujudkannya adalah dengan membangun sinergi antar-kelompok masyarakat sipil untuk bersama melawan oligarki.
Di sini, membangun sinergi di kalangan elemen masyarakat sipil lintas isu merupakan satu agenda bersama di masa depan. Para akitvis, akademisi, agamawan, jurnalis dan buruh perlu duduk bersama menyatukan pandangan dan merumuskan langkah.
Tidak hanya itu, sinergi perlu juga merangkul elemen-elemen progresif yang ada di masyarakat politik, seperti partai politik, parlemen dan aparat masyarakat sipil. Itulah, antara lain, yang dilakukan oleh LP3ES dengan mendirikan sekolah demokrasi yang mempertemukan elemen progresif dari semua latar belakang di atas untuk bertemu, berdialog, melakukan refleksi atas situasi kemunduran demokrasi dan merumuskan upaya-upaya bersama untuk menahan laju kemundurannya.