Salin Artikel

Dari Sekolah Demokrasi Menuju Lahirnya Generasi Indonesia Baru

"Kesadaran adalah matahari,
Kesabaran adalah bumi,
Keberanian menjadi cakrawala,
dan Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata." - WS Rendra

Dari tanggal 12-19 Agustus 2021, LP3ES yang bekerjasama dengan Universitas Diponegoro menyelenggarakan sekolah demokrasi angkatan III. Sekolah demokrasi kali ini istimewa karena bertepatan dengan ulang tahun ke-50 LP3ES.

Seperti biasa, para peserta yang lolos berasal dari unsur yang beragam yaitu akademisi, mahasiswa, jurnalis, pengurus partai politik, tokoh masyarakat/agama, aktivis penyelenggara pemilu, hakim dan anggota legislatif.

Walaupun pendaftaran dibuka dalam waktu relatif singkat, namun ada 264 calon peserta Sekolah Demokrasi dari Aceh hingga Papua yang kemudian pada tahap seleksi administrasi terpilih 204 calon peserta.

Akhirnya, dengan mempertimbangkan tulisan, latar belakang aktivisme, gender dan tempat asal pada tahap seleksi akhir, terpilihlah 41 orang peserta Sekolah Demokrasi Angkatan III. Dari sisi domisili, mereka berasal dari Aceh sampai Papua. Dari sisi gender, lebih dari 30 persen peserta yang terpilih adalah perempuan.

Keragaman ini menjadi penting karena sekolah demokrasi ini didirikan untuk menciptakan satu forum yang bisa menjadi jembatan bagi aktor-aktor progresif dari berbagai latar belakang profesi dan gender dari seluruh penjuru Nusantara untuk bertemu, berdialog dan melakukaan refleksi bersama tentang situasi demokrasi di Indonesia.

Keragaman latar belakang menjadi kekayaan karena sering kali tiap aktor politik berbicara dalam keterbatasan perspektif mereka masing-masing yang dipengaruhi oleh posisinya berada. Ini kemudian menciptakan situasi ketika masing-masing aktor saling menyalahkan satu sama lain.

Akademisi bersikukuh bahwa politik para elite telah menjelma menjadi sekumpulan oligarki predatoris yang membajak demokrasi ke arah yang sangat membahayakan masa depan bangsa.

Namun di sisi lain, didapati keadaan bahwa partai politik merupakan satu institusi yang nyaris tak berubah setelah dua dekade reformasi dengan segala permasalahannya: politik dinasti, kaderisasi yang lambat, korupsi elite dan politisi muda yang berkompetisi dengan praktik lama.


Kritik keras kalangan ilmuwan dari dalam menara gading kampusnya sama sekali tak berpengaruh pada praktik politik yang berlangsung “di luar sana.” Jika kedua aktor ini kebetulan bertemu, seperti kita saksikan di berbagai talkshow di layar kaca, yang terjadi adalah pemandangan yang menyesakkan. Keduanya seolah berbicara dari dunia yang sama sekali berbeda.

Mengapa perbedaan tajam ini terjadi? Pandangan filsuf dan sosiolog Perancis Pierre Bourdieu dapat membantu menjelaskannya lewat teorinya tentang arena yang dikenal sebagai “field theory”.

Inti argumennya adalah bahwa bahwa arena merupakan satu lokus yang memiliki logikanya sendiri yang akan membentuk dan mempengaruhi tindakan sosial dari subyek yang ada di dalamnya. Karena setiap aktor bergerak menurut logika arenanya masing-masing dan melihat dari sudut pandang arenanya itu, maka tak heran jika mereka melihat dengan cara yang berbeda dan membentuk satu habitus yang berbeda pula.

Dalam hal ini, Bourdieu membagi arena dalam kategori arena akademik, arena politik , dan arena jurnalistik. Lantas, karena setiap aktor cenderung melihat masalah dalam perspektif mereka yang sempit, maka satu wadah yang bisa menjadi jembatan agar orang-orang yang berasal dari arena yang berbeda-beda itu untuk saling bertemu dan berdialog menjadi penting.

Meminjam ide Habermas, dialog merupakan metode untuk menemukan rasio komunikatif. Dialog membangun saling pengertian, menstimulasi pemikiran kritis dan menghadirkan ide-ide baru yang segar.

Pertama-tama untuk merumuskan masalah konsolidasi demokrasi yang kita hadapi dengan dingin, jujur, tanpa tergesa, termasuk mempertanyakan apa yang kita anggap normal dan tidak normal dalam peradaban politik kita.

Beradasarkan pemahamaan di atas, pusat studi media dan demokrasi LP3ES mengadakan sekolah demokrasi yang telah dilangsungkan sebanyak dua kali pada tahun 2020 dan akan segera dilangsungkan acara angkatan ketiga pada 19 Agustus 2021.

Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk menguraikan landasan teori, pemateri, kurikulum dan desain pembelajaran dari sekolah demokrasi LP3ES serta refleksi atas dua sekolah demokrasi yang telah dilakukan untuk menjadi pelajaran dalam konteks demokrasi yang sedang berlangsung dan agenda LP3ES ke depan untuk mendorong konsolidasi demokrasi lebih luas.


Absennya demos dan kemunduran demokrasi

Dalam rangka menyambut ulang tahun ke-50 yang jatuh pada tanggal 19 Agustus 2021, LP3ES menerbitkan buku berjudul “Demokrasi Tanpa Demos: Refleksi 100 Ilmuwan Sosial Politik Tentang Kemunduran Demokrasi di Indonesia”.

Ide awal buku ini lahir pada penghujung tahun 2020 saat kami menggagas perlunya mengundang ilmuwan dari seluruh dunia untuk menulis refleksi bersama atas situasi demokrasi di Indonesia. Untuk itu, kami berniat melakukan call for paper kepada para ilmuwan terpilih yang mau secara sukarela menulis untuk memperingati ulang tahun lembaga bersejarah ini.

Dari sana muncul ide untuk sekaligus mengundang para ilmuwan itu untuk berbicara dan mempresentasikan tulisannya di satu forum diskusi mingguan. Forum itu kemudian diberi nama Forum 100 Ilmuwan.

Seperti namanya, ia memang berniat menghadirkan tak kurang dari 100 ilmuwan sosial politik di seluruh dunia untuk melakukan refleksi bersama LP3ES. Dalam forum itu, 3-4 orang ilmuwan sosial politik dari berbagai negara di dunia hadir setiap minggu untuk berbicara di webinar LP3ES tentang berbagai tema.

Masih teringat jelas webinar pertama digelar pada hari Jumat, 30 Oktober 2020, tentang konflik Papua dengan pembicara, antara lain Cahyo Pamungkas dari LIPI. Panel terakhir berlangsung pada 5 Juni 2021 tentang manifesto peradaban ekologis untuk Indonesia yang menghadirkan Gerry van Klinken dari KITLV Belanda.

Selama tujuh bulan, antara akhir Oktober dan awal Juni itu, secara total berlangsung 28 webinar. Dengan kata lain, rata-rata empat webinar setiap bulan selama tujuh bulan. Itu artinya seminggu sekali forum ini hadir dengan diskusi “berat” yang menghadirkan ilmuwan dari banyak wilayah di Indonesia maupun dari luar negeri dan kemudian ditayangkan melalui kanal YouTube sehingga dapat dinikmati oleh khalayak banyak.

Tercatat, ada 135 ilmuwan sosial politik (91 laki-laki dan 44 perempuan) yang bergabung bersama kami, baik berbicara dalam webinar, mengirimkan tulisan, ataupun berbicara dan mengirimkan tulisan sekaligus. Dari 135 ilmuwan tersebut, 77 orang (56 laki-laki dan 21 perempuan) di antaranya, menuliskan refleksi kritis dan mempercayakannya kepada kami untuk diterbitkan di dalam buku ini.

Mereka tidak hanya ilmuwan sosial politik dari Indonesia, namun juga dari berbagai negara, seperti Kanada, Australia, Norwegia, Jerman, Tiongkok, Singapura, Inggris, Amerika, Belanda, Perancis, dan Jepang.


Dari berbagai ulasan dan eksplorasi penulis di dalam buku ini, juga dari puluhan webinar yang diadakan, tampak bahwa ada problem kemunduran demokrasi serius yang dituliskan dalam berbagai istilah oleh berbagai sarjana ilmu politik, seperti defective democracy, democratic setbacks, democratic regression, democratic deconsolidation, democratic decline, authoritarian turn, democratic backsliding, democratic recession, illiberal democracy, nondemocratic pluralism, recession of democracy, neo authoritarianism, authoritarian innovation, dan authoritarian turn.

Sebagaimana teori Diamond, Mietzner, Aspinall, juga Warburton dan Power, kemunduran demokrasi merupakan sebuah proses saat aktor-aktor yang terpilih secara demokratis memunggungi nilai-nilai dan institusi demokrasi, sehingga pengabaian nyawa warga negara di masa pandemi merupakan tumbal yang tak terhindarkan dari kemunduran demokrasi dalam wujudnya yang paling brutal.

Pertanyaannya kemudian adalah mengapa kemerosotan demokrasi terjadi?

Daron Acemoglu dan James A Robison (2019) dalam karya monumentalnya The Narrow Corridor: States, Societies, and the Fate of Liberty menekankan perlunya menjaga keseimbangan kekuasaan antara negara dan masyarakat sipil untuk mempertahankan jalan sempit kebebasan sipil.

Menurut mereka, jika negara terlalu kuat, ia akan berubah menjadi raksasa yang akan membunuh kebebasan sipil dan demokrasi. Di sisi lain, jika masyarakat sipil terlalu kuat dan negara terlalu lemah, yang akan terjadi adalah kekacauan sosial yang terjadi karena tidak adanya ketertiban.

Terinspirasi oleh Acemoglu dan Robison, kita melihat bahwa salah satu penyebab utama kemunduran demokrasi di Indonesia adalah kekuatan oligarki yang cepat terkonsolidasi setelah Reformasi 1998 dan terutama sejak 2019, di satu sisi, dan tergesa-gesa masyarakat sipil untuk berkonsolidasi dan bersaing dengan mereka di sisi lain.

Dalam konteks ini, oligarki bisa didefinisikan sebagai sistem hubungan kekuasaan yang memungkinkan akumulasi kekayaan dan otoritas di tangan segelintir elit beserta seperangkat mekanisme untuk mempertahankannya (Robison dan Hadiz; 2013).

Hasilnya adalah berbagai bentuk kebijakan yang melayani kepentingan kepentingan ekonomi politik para elit tetapi meninggalkan kepentingan publik. Hal ini tercermin dalam berbagai tulisan dalam buku ini, mulai dari penanganan pandemi yang buruk, perusakan lingkungan, maraknya korupsi di tingkat nasional dan lokal, melemahnya lembaga antikorupsi, perampasan tanah petani, kooptasi kebebasan akademik, semakin menyempitnya ruang publik dan kebebasan berbicara, hingga komunikasi krisis yang buruk.


Di sinilah "demokrasi tanpa demos" akhirnya dipilih menjadi judul buku karena kami memaknai ini sebagai situasi demokrasi memang dilaksanakan secara prosedural tetapi secara substansi tidak dilaksanakan untuk kepentingan rakyat sebagaimana mestinya.

Sebaliknya, demokrasi hanya digunakan sebagai alat bagi sekelompok elite oligarki untuk mendapatkan kekuasaan dan sumber daya. Demokrasi telah mengkhianati asal usul makna yang tertanam: demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan.

Demokrasi semestinya mampu menjadi sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam konteks ini, demokrasi tanpa demos tentu merupakan anomali, atau bahkan kontradiktif.

Demokrasi tanpa demos tentu bukan yang diharapkan menjadi akhir dari kisah demokrasi di Indonesia di era Reformasi. Oleh karena itu, upaya penyelesaian kompleksitas permasalahan yang menantang dan menghambat demokrasi perlu segera dilakukan.

Secara rinci, banyak penulis dalam buku ini menguraikan solusi yang harus diambil, mulai dari reinterpretasi konsep demokrasi Indonesia, rekayasa sistem pemilu dan partai politik, pembenahan serangkaian regulasi hukum dan pemerintahan, reformasi institusi demokrasi, penguatan kesetaraan gender, dan sebagainya. Singkatnya, banyak obat yang bisa digunakan untuk menyuburkan demokrasi yang bisa disesuaikan dengan berbagai gejala yang menyertainya.

Namun, kami mencatat satu hal penting sebagai kunci untuk membawa kembali demos secara keseluruhan dalam demokrasi di Indonesia, yaitu mengembalikan rakyat dan kepentingan sebagai episentrum demokrasi.

Siapa pun dan apa pun yang dilakukan dalam penyelenggaraan pemerintahan, demokrasi harus didasarkan pada kepentingan rakyat, tidak ada yang lain. Menurut hemat kami, langkah nyata yang dapat dilakukan saat ini untuk mewujudkannya adalah dengan membangun sinergi antar-kelompok masyarakat sipil untuk bersama melawan oligarki.

Di sini, membangun sinergi di kalangan elemen masyarakat sipil lintas isu merupakan satu agenda bersama di masa depan. Para akitvis, akademisi, agamawan, jurnalis dan buruh perlu duduk bersama menyatukan pandangan dan merumuskan langkah.

Tidak hanya itu, sinergi perlu juga merangkul elemen-elemen progresif yang ada di masyarakat politik, seperti partai politik, parlemen dan aparat masyarakat sipil. Itulah, antara lain, yang dilakukan oleh LP3ES dengan mendirikan sekolah demokrasi yang mempertemukan elemen progresif dari semua latar belakang di atas untuk bertemu, berdialog, melakukan refleksi atas situasi kemunduran demokrasi dan merumuskan upaya-upaya bersama untuk menahan laju kemundurannya.


Pemateri, kurikulum dan desain pembelajaran

Bagaimana dialog dapat terwujud? Bagian ini didedikasikan untuk memberi gambaran singkat bagaimana pembelajaran berlangsung bagian ini akan menjelaskan siapa pemateri, bagaimana kurikulum dan desain pembelajaran sekolah demokrasi.

Dari sisi pemateri, LP3ES punya stok melimpah. Sebagai satu lembaga riset non pemerintah tertua di Indonesia, LP3ES merupakan wadah di mana para intelektual berdialektika sejak lama sehingga lahir naman-nama seperti Sumitro Jojohadikusumo, Abdurrahman Wahid, Arief Budiman, Emil Salim, Rizal Ramli, Fachry Ali, Daniel Dhakidae, Ismid Hadad, Dawam Raharjo, Azumadi Azra, Jimly Ashidique, Didik J Rachbini, Abdul Hamid, Malik Ruslan dan masih banyak lainnya.

Sebagian intelektual itu ada yang sudah meninggal, namun ada pula yang masih aktif menjadi guru bangsa atau tokoh intelektual yang setia memberikan pencerahan dan membimbing arah bangsa. Mereka yang masih aktif akan menjadi pemantik diskusi dari sekolah demokrasi yang digelar.

Melengkapi nama-nama besar di atas, barisan peneliti muda yang menjadi generasi penerus LP3ES juga siap untuk berbagai ilmunya. Mereka adalah generasi milenial yang hadir dengan perspektif yang masih fresh yang merupakan anak zaman hari ini dan menjadi pemilik masa depan. Mereka antara lain Fajar Nursahid, Wijayanto, Herlambang P Wiratraman, Aisah Putri Budiarti, Esther Agustin, Fachru Nofrian Bakarudin, Milda Istiqomah dan masih banyak lainnya.


Karena sekolah ini tidak ditujukan untuk mereka yang asing dengan demokrasi, maka materi yang diberikan lebih berupa stimulus untuk merangsang terciptanya dialog sehingga lebih berisi tema-tema yang merefleksikan problem demokrasi kita seperti kemunduran demokrasi, kuatnya oligarki dan absennya demos, langkanya kreativitas dan imajinasi politik, tidak efektifnya sistem pemilu, lemahnya partai politik, lemahnya check and balance, rendahnya literasi digital, korupsi, perusakan lingkungan, tergerusnya kebebasan sipil termasuk kebebasan akademik dan sebagainya.

Sebagaimana diungkapkan di depan, semua materi pembelajaran disampaikan dalam suasana dialog yang egaliter sehingga semua peserta bisa ikut menyampaikan pikiran dan refleksi secara setara.

Tak hanya itu, forum dialog sesungguhnya tidak berakhir ketika sekolah demokrasi berakhir selama 2 minggu itu. Ini justru baru permulaan. Karena para peserta sekolah demokrasi itu kemudian akan tergabung dalam satu grup WhatsApp besar dan menjadi bagian dari keluarga besar LP3ES.

Dengan fasilitas kemajuan teknologi itu, dialog tentang masalah-masalah demokrasi berlangsung dengan alamiah dan egaliter dengan suasana yang hangat dan mengutamakan spirit kemanusiaan meskipun tak jarang diskusinya juga bisa menjadi panas dan serius.

Dan sesungguhnya tak hanya diskusi. Di forum WAG itu, rasa solidaritas juga terbangun di antara alumni sekolah demokrasi termasuk jika ada di antara anggota keluarga yang sakit atau meninggal di masa pandemi ini. Dengan demikian, situasi pembelajaran yang menekankan pada pengasahan cipta, rasa dan karsa dapat terwujud.


Refleksi: bagaimana elite melihat situasi demokrasi kita?

Kembali kepada kajian tentang kemunduran demokrasi di Indonesia, temuan itu banyak menuai kritik. Pertama, salah satu kritik yang muncul terhadap berbagai penelitian di atas adalah bias negara-negara barat karena sebagian besar penulisnya adalah pengamat asing, artinya mereka sendiri bukan orang Indonesia.

Hal ini kemudian menimbulkan tuduhan bahwa mereka mencoba memaksakan nilai-nilai atau standar demokrasi dari asalnya, yang kebanyakan berasal dari Eropa Barat (pandangan barat) terhadap Indonesia yang dianggap memiliki budaya sendiri.

Kedua, lebih dari yang pertama, tidak hanya bias ke arah barat tetapi juga bias oleh kalangan akademisi barat. Di sini diasumsikan bahwa akademisi adalah sekelompok orang yang cenderung terlalu mengidealisasikan dunia. Ketiga, temuan penelitian dianggap mencerminkan sikap apatis dari rata-rata masyarakat terhadap perilaku para elite, terutama elite politik.

Ada semacam pandangan dalam diskusi informal antara masyarakat kalangan biasa di Indonesia terkait elite politik Indonesia yang korup. Artinya mereka tidak merasa ada masalah dengan keadaan demokrasi di Indonesia saat ini.

Berdasarkan pertimbangan di atas, satu pertanyaan menarik untuk untuk diajukan adalah bagaimana sebenarnya sikap elite di Indonesia terhadap kemunduran demokrasi dan apakah mereka juga bersepakat dengan literatur yang ada bahwa demokrasi mengalami kemunduran.

Kesan yang kami peroleh dari sekolah demokrasi yang pertama yang berlangsung secara tatap muka antara 15-17 Februari menunjukkan bahwa ternyata bahkan para elite itu juga berpikir bahwa kemunduran demokrasi memang juga tengah terjadi dalam persepsi mereka.
Mereka sama-sama merasakan keresahan atas proses demokrasi yang sedang berjalan. Salah satu keresahan kolektif yang muncul misalnya masalah politik uang. Seorang politisi menyampaikan keprihatinannya atas masalah politik uang dalam pemilu.

"Masalah utama demokrasi kita adalah biaya politiknya yang sangat mahal. Banyak orang baik tidak jadi pemimpin dalam pemilu karena tingginya biaya politik. Dalam pemilu apa saja, baik itu legislatif maupun eksekutif,” ujarnya. 

Untuk menjawab pertanyaan itu secara lebih metodologis, kami melakukan survei terhadap sebagian elite di Indonesia yang mengikuti sekolah demokrasi LP3ES angkatan II. LP3ES beruntung karena meski dalam situasi pandemi, Sekolah Demokrasi Angkatan II dapat diselenggarakan selama dua pekan pada 16 hingga 29 Agustus 2020.

Tidak seperti sekolah demokrasi pertama yang berlangsung 3 hari penuh secara tatap muka, sekolah demokrasi kedua ini berlangsung secara daring di masa pandemik dengan 2 jam pertemuan setiap harinya selama 2 minggu.

Perhelatan ini terasa spesial karena ditujukan untuk menyambut ulang tahun ke-75 Indonesia dan sekaligus ulang tahun ke-49 LP3ES yang jatuh pada 19 Agustus 2020. Peserta yang mendaftar tidak kurang dari 652 orang yang terdiri dari anggota DPRD, akademisi, penyelenggara pemilu, peneliti, pengurus parpol, wartawan, PNS, tokoh masyarakat dan pelajar dari seluruh Indonesia, mulai dari Aceh hingga Papua, Kalimantan, Sulawesi, Bali hingga Nusa Tenggara.

Dari semua pelamar, hanya 38 yang dipilih dengan mempertimbangkan keragaman latar belakang profesi, domisili (Jawa dan luar Jawa), usia dan jenis kelamin. Berdasarkan jenis kelamin, 78,9 persen responden berjenis kelamin laki-laki sedangkan 21,1% lainnya berjenis kelamin perempuan.

Sedangkan menurut profesinya, komposisi peserta berasal dari latar belakang yang beragam. Ada dosen (25 persen), mahasiswa (22 persen), aparatur sipil negara/ASN (17 persen), pegiat partai politik atau politisi (10 persen), wartawan (8 persen), anggota penyelenggara pemilu (7 persen), konsultan media, tokoh masyarakat, peneliti (masing-masing 3 persen), dan juga guru (2 persen).


Keberagaman profesi juga sejalan dengan keberagaman tempat asal karena peserta berasal dari seluruh Nusantara. Sebagian besar peserta berasal dari Jawa yang terdiri dari Banten (10 persen), DKI Jakarta (23 persen), Jawa Barat (15 persen), Jawa Timur (3 persen) dan Jawa Tengah (5 persen). Namun hampir separuhnya (47 persen) berasal dari pulau-pulau di luar Jawa seperti dari Papua, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Bangka, Aceh dan lain-lain.

LP3ES melakukan asesmen cepat melalui survei terbatas kepada 38 peserta Sekolah Demokrasi. Mereka adalah bagian dari kelas terdidik masyarakat Indonesia dimaksudkan sebagai proxy terhadap elite.

Sebagai responden, mereka diminta menjawab sejumlah pertanyaan pokok yang dirumuskan dalam sebuah kuesioner terstruktur tentang bagaimana mereka memandang situasi demokrasi di Indonesia dewasa ini dan apakah mereka memiliki pendapat yang sama dengan berbagai teoritisasi demokrasi di Indonesia yang dikemukakan oleh para ahli di atas.

Survei terbatas ini dilengkapi dengan penggalian pandangan dalam setiap sesi di forum Sekolah Demokrasi. Dari kedua proses metodis yang saling melengkapi ini, kami mendapatkan gambaran bagaimana kondisi terkini permasalahan demokrasi di Indonesia melalui kacamata elite.

Penting dikemukakan sebagai catatan, survei ini memiliki keterbatasan metodologis karena idealnya survei melibatkan jumlah responden yang relatif besar.

Dengan hanya menjaring responden tertentu yang terbatas dalam lingkup peserta Sekolah Demokrasi LP3ES, “mini survey” ini lebih merupakan asesmen untuk memetakan isu secara cepat (rapid assessment). Dia tidak mengklaim mewakili seluruh masyarakat Indonesia bahkan juga tidak mengklaim mewakili seluruh lapisan elite di Indonesia.

Namun, setidaknya bisa memberikan gambaran tentang persepsi sebagian elite yang terpilih sebagai peserta sekolah demokrasi yang berjumlah 38 orang namun merupakan hasil saringan dari hampir 600 pendaftar yang beragam dari sisi asal wilayah, profesi maupun gender.

Rangkuman dari pokok-pokok pandangan para peserta Sekolah Demokrasi LP3ES dapat dikemukakan dalam paparan berikut ini. Umumnya, responden melihat bahwa demokrasi Indonesia berada dalam situasi suram karena mengalami stagnasi bahkan kemunduran, mengarah kepada ciri-ciri otoriteriansime.

Sebaliknya, hanya sebagian kecil peserta yang menilai demokrasi kita maju. Dari survei tersebut ditemukan sebagai berikut sebagian besar responden melihat bahwa demokrasi di Indonesia berada dalam situasi yang suram berupa kemunduran (44,7 persen), stagnasi/stagnasi (23,7 persen) dan bahkan ada yang menganggap kita berada di bawah otoritarianisme (28,9 persen). Hanya 2,7 persen responden yang menilai demokrasi kita maju.

Setidaknya terdapat 21 fenomena yang menjadi masalah yang menandai kemerosotan demokrasi Indonesia yang memiliki tingkat konformitas tinggi dari responden (di atas 80 persen), yaitu (1) maraknya praktik politik uang dalam pemilu, (2) regenerasi partai politik yang macet, (3) populisme dan politik identitas, (4) hilangnya kekuatan penyeimbang negara dan oposisi, (5) terjadinya praktik korupsi politik, (6) maraknya berita palsu (hoaks) dan ujaran kebencian, (7) rendahnya literasi politik masyarakat, (8) literasi media yang rendah, (9) peran masyarakat sipil yang lemah, (10) kualitas pemilu rendah, (11) media massa partisan, (12) rendahnya efektivitas pemerintahan, (13) rendahnya partisipasi politik, (14) menguatnya ancaman kebebasan berbicara, (15) ancaman kebebasan berserikat, (16) adanya kekebalan terhadap para pelanggar hak asasi manusia (17), masih terjadinya ketimpangan ekonomi, (18) terjadinya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas, (19) toleransi atau advokasi terhadap kekerasan, (20) terjadinya teror dunia maya terhadap kelompok kritis, serta (21) terjadinya upaya kriminalisasi kelompok-kelompok kritis masyarakat.

Melengkapi temuan pokok survei di atas, permasalahan demokrasi yang muncul diungkapkan oleh peserta di sekolah demokrasi.

Pertama, politik dinasti dalam pemilu. Politik dinasti merupakan salah satu masalah serius demokrasi yang diungkapkan oleh peserta diskusi dan menjadi kesepakatan forum. Secara spesifik, wilayah yang dianggap sebagai lokus pelaksanaan politik dinasti adalah Banten yang dipraktekkan oleh keluarga ratu Atut dan Solo yang terkait dengan kemajuan Gibran, putra Presiden Jokowi, dalam Pilkada yang berpotensi menjadi calon tunggal.

Kedua, persoalan terkait parpol. Di tengah semangat desentralisasi, kader-kader yang diusung oleh partai-partai di daerah sering kali kerap digemari oleh dewan pengurus pusat di Jakarta tapi tidak mengakar di daerah. Akibatnya adalah tidak adanya akuntabilitas dan kesetaraan lokal.

Hasilnya adalah ketergantungan partai lokal pada partai pusat. Ideologi parpol juga tidak jelas membuat mereka seperti kelompok kepentingan yang bergerak untuk pragmatisme politik jangka pendek.
Selain itu, tidak ada demokrasi dan kesetaraan di dalam partai politik, meski diharapkan menjadi pilar utama demokrasi. Belum adanya transparansi keuangan partai politik, terutama pada saat pemilihan umum juga masalah serius lainnya.

Ketiga, problem oligarki. Ia dimulai dari politik, yaitu penumpukan kekuasaan dan kekayaan di tangan segelintir elite merupakan satu hal yang dipandang sebagai masalah demokrasi lainnya.

Elite yang kaya dan berkuasa ini memanfaatkannya untuk membeli suara dalam pemilu sehingga yang terpilih belum tentu menjadi cerminan suara rakyat. Termasuk oligarki di tingkat lokal.

Oligarki media yaitu penguasaan media massa oleh segelintir orang, sebagian di antaranya adalah politisi, dipandang sebagai masalah lain yang melemahkan fungsi media sebagai anjing penjaga demokrasi.

Bagian ini menunjukkan dengan jernih bahwa kemunduran demokrasi bukan hanya persepsi publik atau akademisi namun juga diakui dan disadari oleh kalangan elit di Indonesia, sekurang-kurangnya lapisan elite yang bergabung dalam sekolah demokrasi LP3ES.

Dengan kata lain, kami menyadari keterbatasan metodologi bahwa survei ini tidak dapat diklaim mewakili seluruh lapisan elite di Indonesia mengingat terbatasnya responden namun sekurang-kurangnya ia bisa memberi insight tentang persepsi sebagian elite kita.


Epilog

Ketika demokrasi terancam secara global, mempromosikan demokrasi merupakan upaya yang perlu dilakukan oleh para pembela demokrasi. Upaya ini menjadi semakin penting karena dunia dihadapkan pada pandemi global yang membuat beberapa pemerintah mengambil tindakan non-demokratis yang membuat kemundurannya semakin parah.

Gambaran yang suram menjadi semakin kelam karena dunia juga dihadapkan pada ancaman resesi ekonomi yang meluas. Konsolidasi masyarakat sipil dan elemen-elemen dari berbagai sektor seperti jurnalis, politisi, agamawan dan akademisi untuk mendorong konsolidasi demokrasi adalah hal yang penting dilakukan. Sekolah demokrasi LP3ES ini adalah salah satu upaya untuk itu.

Sekolah demokrasi melahirkan dialog yang menstimulasi gagasan kreatif untuk menyadari bahwa politik yang yang dianggap normal itu sebenarnya abnormal dalam peradaban politik kita.

Bahwa minimnya kreativitas dan imajinasi politik yang transformatif bagi kebuntuan masalah-masalah demokrasi yang kita hadapi adalah problem yang sesungguhnya. Berikutnya tentu saja adalah keyakinan dan keberanian untuk mewujudkan gagasan dan imajinasi itu menjadi tindakan nyata menuju terciptanya satu habitus politik yang baru demi mendorong konsolidasi demokrasi.

Kami percaya bahwa para peserta sekolah demokrasi itu peduli dan mau terlibat dalam upaya dan ikhtiar untuk menyelamatkan demokrasi di Indonesia. Dan barangkali, seperti halnya kami, mereka juga percaya bahwa satu generasi baru Indonesia yang dapat menjawab tuntutan zaman sudah saatnya untuk dilahirkan.

Satu siklus 20 tahunan yang dimulai dari kelahiran Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan 1945, pergerakan mahasiswa tahun 1965, Reformasi 1998, dan siapa tahu: 2021!

Satu generasi yang lebih bercorak kosmopolitan yang berisi orang-orang Indonesia ataupun bukan yang berbagi nasib menyaksikan pandemi yang belum tentu 100 tahun sekali terjadi, yang benaknya prihatin memikirkan kemunduran Indonesia dan bersama-sama melakukan refleksi dalam buku ini.

Semoga niat itu sampai ke langit lalu kembali turun ke bumi menjadi butiran-butiran air hujan yang menjadi satu penanda: generasi baru akan segera lahir!

https://nasional.kompas.com/read/2021/08/15/17085261/dari-sekolah-demokrasi-menuju-lahirnya-generasi-indonesia-baru

Terkini Lainnya

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

Nasional
Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited  Capai Rp 17,43 Miliar

Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited Capai Rp 17,43 Miliar

Nasional
KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

Nasional
Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Nasional
Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Nasional
Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Nasional
Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Nasional
KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

Nasional
Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Nasional
Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke