“Bu Mega segera membuah gips dengan kayu dan selotip agar batang yang patah itu bisa tumbuh lagi,” ujarnya.
Saya jadi ingat ketika menjelang akhir 2004, di tempat tinggalnya di Kebagusan, Jakarta Selatan, Megawati berkomentar terhadap para pengunjuk rasa yang memprotes kebijakannya dengan membakar ban mobil di depan Istana Merdeka Jakarta (utara Monas).
“Kenapa sih kok ban-ban itu dibakar, bagi saya ban-ban mobil bekas itu kan bisa dipakai jadi pot tanaman cabe atau bunga,” ujar Megawati saat itu.
Kembali ke pembicaraan dengan Hasto yang baru ditinggalkan ibundanya, Nyonya Yohana Sutarmi (wafat di pada usia 88 tahun di Sleman, Yogyakarta, Rabu 10 Maret 2021 lalu). Baca juga: Ibunda Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto Meninggal Dunia
“Saya menerima kabar ibu meninggal dalam perjalanannya dari Bekasi ke Jalan Sutan Syahrir, Jakarta”. Ketika itu kebetuan saya banyak mendengarkan lagu Derek Dewi Maria,” ujar Hasto di sela-sela pembicaraan tentang kontemplasi Mega tentang menanam pohon.
Menurut Hasto, ketika menyusuri jalan-jalan di Kebun Raya Bogor, Megawati membayangkan dirinya menjadi kepala kebun raya. Lebih dari itu, Mega berkontemplasi, dari pohon ia belajar mencintai bumi bumi sebagai jalan hidup.
“Bahwa dalam setiap helai daun yang tumbuh, terdapat proses panjang yang melibatkan udara, air, matahari, dan berbagai unsur yang dimiliki bumi,” kata Hasto.
“Menanam adalah sebuah penghayatan keajaiban kehidupan bahwa dari sebuah biji akan muncul bibit-bibit tanaman yang tubuh berkembang, menghasilkan bunga, buah yang bermanfaat untuk manusia."
“Kesungguhan merawat rumput, sama halnya dengan ketika ia merawat angrek, mawar, krisan dan sebagainya.....Bukti penghayatannya pada alam semesta tampak dalam memimpin gerak PDI Perjuangan......Megawati ingin mengirim pesan, kerja nyata di masyarakat jauh lebih penting dibandingkan popularitas,” kata Hasto.
Hasto memberi informasi pada saya tokoh wayang dalam kisah Ramayana, Dewi Shinta dan manusia kera Sobali memberi banyak inspirasi kepa Megawati. Shinta juga sering disebut sebagai dewi bumi dan dewi cinta.
“Shinta bertahan dalam jalan derita, memegang pelita hidup yang digerakan oleh cinta, dan berhasil membuktika kesucian cinta sebagai daya gerak gerak hidup," tulisa Hasto dalam artikel berjudul Jalan Hidup Mencintai Bumi.
Oleh karena itulah Dewa memberi anugerah “Aji Wulandari” kepada Shinta.
“Ini suatu ajian paling sakti, karena muncul dari sari pati penderitaan seorang perempuan yang rela mempertaruhkan nyawa bagi kehidupan melalui kelahiran anaknya,” tulis Hasto.
Sementara sosok Subali, menjadi tangguh setelah bertapa ngalong (binatang kalong), menggantungkan diri di dahan pohon dengan kaki di atas dan kepala di bawah.
“Dengan ini Subali hidup dengan berpasrah pada belas kasih Sang Pencipta. Ketika menggantungkan diri, Subali menyerahkan seluruh hidupnya kepada alam. Dengan ngalong, Subali mendaraskan kerinduannya kepada bumi. Ia begitu mencintai bumi. Ia mengheningkan cipta.”
Maka Subali mendapatkan Aji Pancasona yang membuat bila ia mati akan hidup lagi ketika menyentuh bumi. Inilah sosok Subali, manusia kera dalam epos Ramayana yang sering digelar di pelataran Candi Prambanan di perbatasanYogyakarta - Klaten.