JAKARTA, KOMPAS.com - Dinamika revisi Undang-undang Pemilu masih terus bergulir. Setelah sebelumnya tarik-ulur dukungan berkutat di Parlemen, kini pemerintah menyatakan sikap.
Sama seperti sikap kebanyakan fraksi DPR yang enggan merevisi UU Pemilu, pemerintah menegaskan tak beri dukungan terhadap perbaikan UU itu.
Adapun, revisi UU Pemilu sejatinya sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2021.
Baca juga: Mensesneg: Tolong Jangan Dibalik, Seakan Pemerintah Ingin Revisi UU Pemilu dan UU Pilkada
Revisi UU Pemilu berencana menggabungkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada.
Dalam draf RUU Pemilu sementara yang diterima wartawan, Pasal 731 Ayat (2) dan (3) memuat ketentuan bahwa Pilkada dilaksanakan pada 2022 dan 2023.
Kemudian, Pasal 734 menyebutkan bahwa Pilkada serentak akan dilangsungkan pada tahun 2027 dan selanjutnya diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
Aturan ini berbeda dengan ketentuan yang dimuat UU Nomor 10 Tahun 2016. Pada Pasal 201 Ayat (8) UU tersebut dikatakan bahwa Pilkada serentak akan digelar pada November 2024.
Oleh karenanya, jika UU Pemilu batal direvisi, maka Pilkada serentak tetap diselenggarakan di tahun 2024 bersamaan dengan Pemilu Presiden dan Legislatif.
Baca juga: Mensesneg Bantah Penolakan Revisi UU Pemilu dan Pilkada untuk Halangi Anies
Lantas, apa yang melatarbelakangi pemerintah menolak wacana revisi UU Pemilu?
1. Alasan pemerintah
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno menegaskan bahwa pemerintah tak ingin ada revisi UU Pemilu.
Alasannya, mereka tidak mau suatu undang-undang diubah dengan mudahnya.
"Pemerintah tidak mengingingkan revisi dua undang-undang tersebut ya, prinsipnya ya jangan sedikit-sedikit itu UU diubah," kata Pratikno melalui tayangan YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (16/2/2021).
Baca juga: Pengamat Nilai Pro Kontra Revisi UU Pemilu Sarat Kepentingan Politik
Pratikno menyebut, aturan yang sudah baik di UU Nomor 7 Tahun 2017 hendaknya tetap dipertahankan. Apalagi, UU tersebut sukses digunakan pada Pemilu 2019 lalu.
Jika pun masih ada kekurangan dalam UU itu, maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat melakukan perubahan pada Peraturan KPU (PKPU) tentang Pemilu.
Terkait dengan Pilkada, kata Pratikno, UU Nomor 10 Tahun 2016 telah mengamanatkan bahwa pelaksanaannya digelar serentak pada November 2024.
Ketentuan itu telah ditetapkan sejak tahun 2016 dan hingga saat ini belum dijalankan.
"Masa sih UU belum dilaksanakan terus kemudian kita sudah mau mengubahnya. Apalagi kan undang-undang ini sudah disepakati bersama oleh DPR dan Presiden, makanya sudah ditetapkan," ujar Pratikno.
"Oleh karena itu pemerintah tidak mau mengubah UU yang sudah diputuskan tetapi belum dijalankan," tuturnya.
Baca juga: Tolak Klaim Ketua Komisi II, PKS Ingin Pembahasan Revisi UU Pemilu Dilanjutkan
Sikap serupa sebelumnya sudah diisyaratkan oleh Presiden Joko Widodo.
Perdebatan tentang jadwal pelaksanaan Pilkada sempat didiskusikan Jokowi bersama sejumlah mantan tim suksesnya di Pilpres 2019 atau Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin pada akhir Januari 2021.
Pandangan Jokowi ini mengisyaratkan keinginannya agar Pilkada digelar di 2024, bukan di tahun 2022 dan 2023.
Baca juga: Perludem Sayangkan Jika DPR Tak Jadi Revisi UU Pemilu
2. Tak terkait Anies dan Gibran
Pratikno menyebut bahwa sikap pemerintah ini tak didasari dengan agenda politik pihak tertentu.
Ia membantah bahwa penolakan pemerintah terhadap revisi UU Pemilu dan UU Pilkada bertujuan untuk menghalangi langkah politik Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
"Enggak ada hubungannya, lah, itu, sama sekali enggak ada hubungannya," kata Pratikno.
Pratikno mengatakan, Undang-undang Pilkada dibentuk pada 2016 lalu. Kala itu, Anies masih duduk di kursi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Baca juga: Mensesneg Bantah Penolakan Revisi UU Pemilu dan Pilkada untuk Halangi Anies
Dalam UU Pilkada diamanatkan bahwa pilkada digelar secara serentak di seluruh daerah pada tahun 2024 bersamaan dengan Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif.
Menurut Pratikno, aturan itu dibuat tanpa maksud menghambat langkah politik pihak tertentu.
"Justru jangan dibalik-balik juga, jangan UU mau diubah untuk tujuan tertentu," ujarnya.
Pratikno juga menyebut bahwa sikap pemerintah terhadap UU Pemilu dan Pilkada tak berkaitan dengan rencana politik putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.
Saat UU Pilkada dibuat, Gibran tengah mengembangkan bisnisnya dan belum punya rencana terjun ke politik.
"Mungkin enggak kebayang juga kan maju wali kota pada waktu itu," kata Pratikno.
Baca juga: Mensesneg Sebut Sikap Pemerintah soal UU Pemilu Tak Terkait Gibran
Pratikno pun meminta agar publik tak mengaitkan sikap pemerintah ini dengan langkah politik pihak tertentu.
"Jadi sekali lagi itu jangan dihubung-hubungkan dengan itu semua sama sekali," kata dia.
3. Dinamika di Parlemen
Sikap sembilan fraksi di DPR terhadap wacana revisi UU Pemilu kini berat sebelah. Setelah sebelumnya menyatakan dukungan terhadap revisi UU Pemilu, Partai Golkar dan Nasdem kini berbalik arah.
Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh menginstruksikan agar Fraksi Partai Nasdem di DPR tidak melanjutkan revisi UU Pemilu dan mendukung pelaksanaan Pilkada serentak di 2024.
Surya Paloh menilai soliditas partai politik dalam koalisi pemerintahan perlu dijaga untuk bahu-membahu menghadapi pandemi Covid-19 dan memulihkan perekonomian.
"Cita-cita dan tugas Nasdem, adalah sama dengan Presiden, yakni untuk kemajuan dan masa depan bangsa yang lebih baik," kata Paloh dalam keterangan tertulis, Jumat (5/2/2021).
Baca juga: Berbalik Arah, Nasdem Kini Dukung UU Pemilu Tidak Direvisi
Alasan senada diungkapkan Wakil Ketua Umum Partai Golkar Nurul Arifin. Menurut Nurul, situasi pandemi Covid-19 belum memungkinkan untuk menggelar Pilkada pada 2022 dan 2023 sebagaimana diatur dalam draf RUU Pemilu.
"Kami mendukung Pemerintah untuk fokus pada penanganan pandemi Covid dan pemulihan ekonomi," ujar Nurul, Senin (8/2/2021).
Perubahan sikap Partai Nasdem dan Partai Golkar itu memperpanjang daftar partai politik yang menolak perubahan UU Pemilu.
Baca juga: Ini Alasan Golkar dan Nasdem Akhirnya Dukung Pemerintah yang Tolak Revisi UU Pemilu
PDI-P, Gerindra, PKB, PAN, dan PPP sebelumnya telah menyatakan menolak revisi UU Pemilu dan setuju agar Pilkada dan Pemilu dilaksanakan pada 2024.
Sementara, fraksi DPR yang kini masih menyatakan dukungan terhadap perbaukan UU Pemilu hanya tersisa Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Terkait dinamika ini, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya menyebut bahwa pihaknya menunggu keputusan Komisi II DPR.
Menurut Willy, berdasarkan aturan yang ada, Komisi II sebagai pengusul revisi UU Pemilu dapat menarik usulannya sebelum disahkan dalam rapat paripurna.
"Baleg masih berpatokan pada surat Komisi II untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi. Kalau itu ditarik, itu hak Komisi II tapi Baleg menunggu surat dari pimpinan Komisi II untuk menarik itu," kata Willy.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.