Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Revisi UU MK Disebut Inkonstitusional, Ini Sebabnya...

Kompas.com - 02/09/2020, 07:56 WIB
Fitria Chusna Farisa,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga riset Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif) menilai, Undang-undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) hasil revisi berpotensi cacat formil dan inkonstitusional.

Sebab, proses revisi UU tersebut berlangsung tertutup dan tergesa-gesa, sehingga tak mengakomodir aspirasi publik maupun MK sendiri.

"Dengan proses yang tertutup, tidak mengakomodasikan kebutuhan MK dan aspirasi publik, serta dilakukan secara tergesa-gesa, revisi UU ini dapat dikatakan cacat formil dan inkonstitusional," kata Peneliti Kode Inisiatif Violla Reininda, kepada Kompas.com, Selasa (1/9/2020).

Baca juga: Revisi UU MK Dinilai Tak Perkuat Kekuasaan Kehakiman

Violla menyebut, iktikad pembentuk undang-undang di balik revisi ini terlihat jelas dari segi prosedural pembentukan UU, yakni menyimpangi supremasi konstitusi.

Pembuat Undang-undang bukan lagi melanggar UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tetapi sudah melanggar konstitusi sebagai hukum tertinggi tepatnya Pasal 1 Ayat (2) tentang kedaulatan rakyat, serta 1 Ayat (3) tentang negara hukum.

"Jadi bukan sekadar melanggar norma, prosedur pembentukan RUU ini sudah melanggar ruh demokrasi konstitusional dan negara hukum," ujar Violla.

Menurut Violla, Indonesia tidak mengenal fast-track legislation atau pembahasan Undang-undang secara kilat.

Baca juga: Pembahasan Revisi UU MK Dinilai Langgar Prinsip Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Namun, apabila mencontoh praktik di Inggris, RUU yang boleh dibahas secara kilat hanya yang sifatnya sangat mendesak, berkaitan dengan budgeting, kepentingan keamanan negara dan untuk merespon peristiwa politik yang berkaitan dengan delegasi kekuasaan ke pemerintah daerah.

Sementara, revisi UU MK sendiri tidak memenuhi prasyarat mendesak.

Bagaimanapun juga, UU tentang kekuasaan kehakiman, termasuk revisi UU MK, harus dibahas secara hati-hati dan dengan kepala dingin. Sebab materi muatannya mengandung keluhuran dan marwah MK.

Baca juga: Ketua Komisi III: Revisi UU MK agar Rekrutmen Hakim Transparan dan Akuntabel

"Jadi, kalau dilihat secara prosedural, RUU ini pun inkonstitusional, prosesnya bukan lagi melanggar undang-undang, tetapi sudah menjauh dari ruh konstitusi dan menanggap konstitusi aturan mati," kata Violla.

Diberitakan, Rancangan Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi disahkan menjadi undang-undang melalui Rapat Paripurna DPR, Selasa (1/9/2020).

RUU ini tetap disahkan, meski menjadi polemik di tengah masyarakat.

Dalam Rapat Paripurna Wakil Ketua Komisi III Adies Kadir menyampaikan, pembahasan RUU Mahkamah Konstitusi dimulai sejak 25 Agustus sampai 28 Agustus 2020.

Baca juga: PSHK: Revisi UU MK Jadi Hadiah bagi Hakim Konstitusi...

Menurut dia, panja, timus, dan timsin melakukan penyempurnaan substansi terhadap RUU MK seperti mengenai kedudukan, susunan, dan kewenangan Mahkamah Konstitusi.

Kemudian, mengenai usia minimal,syarat dan tata cara seleksi hakim konstitusi, penambahan ketentuan baru mengenai unsur majelis kehormatan di Mahkamah Konstitusi.

"Dan pengaturan mengenai ketentuan peralihan agar jaminan kepastian hukum yang adil bagi hakim konstitusi yang sedang mengemban amanah sebagai negarawan, penjaga konstitusi tetap terjamin secara konstitusional," ujar dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com