JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Agil Oktaryal menilai, pembahasan revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) melanggar prinsip umum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Sebab, pembahasan revisi UU MK dilakukan secara cepat dan tertutup dari publik.
"Karena pembahasan hanya dilakukan dalam dua hari saja, pada Rabu (26/8/2020) dan Kamis kemarin (27/8/2020)," kata Agil melalui telekonferensi, Jumat (28/8/2020).
"Dengan proses yang demikian kami menilai bahwa proses itu telah melanggar prinsip umum dalam konstitusi dan undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan," lanjut dia.
Baca juga: Masa Jabatan Hakim MK yang Dihapus di RUU MK Jadi Sorotan
Menurut Agil, prinsip pertama yang dilanggar dalam pembahasan RUU MK adalah kedaulatan rakyat, kemudian demokrasi, serta prinsip hak asasi manusia.
Kemudian, Pasal 88 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Pasal 88 menyatakan:
(1) Penyebarluasan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan Rancangan Undang-Undang, pembahasan Rancangan Undang-Undang, hingga Pengundangan Undang-Undang.
(2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan.
Baca juga: Hakim Konstitusi: MK Belum Diajak DPR Bahas Rencana Revisi UU MK
Selanjutnya melanggar Pasal 96 yang berbunyi:
(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimanadimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui:
a. rapat dengar pendapat umum
b. kunjungan kerja
c. sosialisasi dan/atau