Sebab, proses revisi UU tersebut berlangsung tertutup dan tergesa-gesa, sehingga tak mengakomodir aspirasi publik maupun MK sendiri.
"Dengan proses yang tertutup, tidak mengakomodasikan kebutuhan MK dan aspirasi publik, serta dilakukan secara tergesa-gesa, revisi UU ini dapat dikatakan cacat formil dan inkonstitusional," kata Peneliti Kode Inisiatif Violla Reininda, kepada Kompas.com, Selasa (1/9/2020).
Violla menyebut, iktikad pembentuk undang-undang di balik revisi ini terlihat jelas dari segi prosedural pembentukan UU, yakni menyimpangi supremasi konstitusi.
Pembuat Undang-undang bukan lagi melanggar UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tetapi sudah melanggar konstitusi sebagai hukum tertinggi tepatnya Pasal 1 Ayat (2) tentang kedaulatan rakyat, serta 1 Ayat (3) tentang negara hukum.
"Jadi bukan sekadar melanggar norma, prosedur pembentukan RUU ini sudah melanggar ruh demokrasi konstitusional dan negara hukum," ujar Violla.
Menurut Violla, Indonesia tidak mengenal fast-track legislation atau pembahasan Undang-undang secara kilat.
Namun, apabila mencontoh praktik di Inggris, RUU yang boleh dibahas secara kilat hanya yang sifatnya sangat mendesak, berkaitan dengan budgeting, kepentingan keamanan negara dan untuk merespon peristiwa politik yang berkaitan dengan delegasi kekuasaan ke pemerintah daerah.
Sementara, revisi UU MK sendiri tidak memenuhi prasyarat mendesak.
Bagaimanapun juga, UU tentang kekuasaan kehakiman, termasuk revisi UU MK, harus dibahas secara hati-hati dan dengan kepala dingin. Sebab materi muatannya mengandung keluhuran dan marwah MK.
"Jadi, kalau dilihat secara prosedural, RUU ini pun inkonstitusional, prosesnya bukan lagi melanggar undang-undang, tetapi sudah menjauh dari ruh konstitusi dan menanggap konstitusi aturan mati," kata Violla.
Diberitakan, Rancangan Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi disahkan menjadi undang-undang melalui Rapat Paripurna DPR, Selasa (1/9/2020).
RUU ini tetap disahkan, meski menjadi polemik di tengah masyarakat.
Dalam Rapat Paripurna Wakil Ketua Komisi III Adies Kadir menyampaikan, pembahasan RUU Mahkamah Konstitusi dimulai sejak 25 Agustus sampai 28 Agustus 2020.
Menurut dia, panja, timus, dan timsin melakukan penyempurnaan substansi terhadap RUU MK seperti mengenai kedudukan, susunan, dan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Kemudian, mengenai usia minimal,syarat dan tata cara seleksi hakim konstitusi, penambahan ketentuan baru mengenai unsur majelis kehormatan di Mahkamah Konstitusi.
"Dan pengaturan mengenai ketentuan peralihan agar jaminan kepastian hukum yang adil bagi hakim konstitusi yang sedang mengemban amanah sebagai negarawan, penjaga konstitusi tetap terjamin secara konstitusional," ujar dia.
https://nasional.kompas.com/read/2020/09/02/07564071/revisi-uu-mk-disebut-inkonstitusional-ini-sebabnya