JAKARTA, KOMPAS.com - Tujuh terdakwa kerusuhan di Papua telah dijatuhi vonis bersalah atas dugaan makar oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (17/6/2020).
Ketujuhnya terdiri dari Alexander Gobay, Fery Kombo, Hengki Hilapok, Buchtar Tabuni, Irwanus Uropmabin, Steven Itlay, dan Agus Kossay.
Aksi unjuk rasa sempat muncul di berbagai daerah sebelum sidang putusan, yang menuntut kebebasan ketujuh terdakwa.
Sesaat sebelum sidang, Polri mengeluarkan keterangan tertulis. Dalam rilis tersebut, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono mengklaim ketujuh terdakwa bukan tahanan politik.
"Mereka adalah murni pelaku kriminal yang mengakibatkan terjadinya kerusuhan di Papua dan khususnya di Kota Jayapura,” kata Argo melalui keterangan tertulis, Rabu.
Baca juga: Polri Klaim 7 Terdakwa Kasus Dugaan Makar asal Papua Bukan Tahanan Politik
Menurut dia, isu bahwa ketujuh terdakwa adalah tahanan politik sengaja digulirkan oleh kelompok-kelompok kecil yang menggelar aksi unjuk rasa.
Argo berdalih, banyak masyarakat Papua menjadi korban atas provokasi yang dilakukan oleh ketujuh orang tersebut.
Polri juga mengklaim telah memiliki bukti sehingga menjerat ketujuhnya dengan dugaan makar.
"Jelas mereka pelaku kriminal, sehingga saat ini proses hukum yang dijalani oleh mereka adalah sesuai dengan perbuatannya," tuturnya.
Baca juga: Data Amnesty: 69 Kasus Pembunuhan di Luar Proses Hukum di Papua, Pelakunya Tak Ada yang Diadili
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyatakan pendapat yang berbeda.
Menurut dia, tahanan yang dijerat dengan pasal makar adalah tahanan politik.
Sebab, kata Fickar, makar dikategorikan sebagai kejahatan terhadap keamanan negara yang termasuk dalam delik politik.
"Jadi tahanan yang dihukum penjara karena makar atau kejahatan terhadap negara adalah tahanan politik," ungkap Fickar ketika dihubungi Kompas.com, Rabu.
Baca juga: Pakar: Tahanan yang Dipenjara karena Makar adalah Tahanan Politik
Menurut dia, kejahatan politik sendiri memiliki pengertian sebagai sebuah kejahatan yang menyerang organisasi maupun hak penduduk yang timbul dari berfungsinya negara.
Maka dari itu, delik politik adalah delik dalam undang-undang hukum pidana politik yang menggunakan motif politik.
"Sedangkan motivasi politik adalah menyalahi (membahayakan atau mengganggu) pelaksanaan hukum kenegaraan," tutur dia.
Baca juga: Veronica Koman: Mau Bicara soal Papua Memang Sulit Setengah Mati
Secara sosiologis, menurut Fickar, kejahatan terhadap keamanan negara disebut sebagai kejahatan politik.
Ia menuturkan, terdapat dua bentuk kejahatan terhadap negara.
Pertama, kejahatan terhadap pemerintah. Salah satu contohnya adalah keinginan mengubah struktur pemerintah di luar konstitusi.
Ada pula kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah. Misalnya, serangan atau ancaman terhadap hak-hak asasi warga atau penyalahgunaan wewenang.
Baca juga: Empat Warga Papua Terlibat Kerusuhan Terbukti Makar, Vonis Hakim Lebih Ringan dari Tuntutan Jaksa
Menanggapi pernyataan Polri tersebut, Amnesty International Indonesia mengatakan, ketujuh terdakwa tidak melakukan aksi kriminal.
Diketahui, ketujuhnya ditangkap pada September 2019 setelah kerusuhan di Papua. Saat itu, aksi protes terhadap tindakan rasisme yang diterima mahasiswa asal Papua di Jawa Timur berujung anarkistis.
Menurut Amnesty, ketujuhnya hanya menyampaikan pendapat dalam aksi tersebut.
"Perbuatan mereka bukan aksi kriminal," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid ketika dihubungi Kompas.com, Rabu.
"Ketujuh aktivis Papua di Balikpapan itu jelas tergolong tahanan hati nurani atau tahanan politik, karena mereka hanya menyuarakan kebebasan berpendapat dan berekspresi secara damai," tuturnya.
Baca juga: 7 Terdakwa Makar asal Papua Tak Berbuat Kriminal, Amnesty Tetap Anggap Tapol
Bahkan, hak itu juga dijamin hukum internasional. Usman mengacu pada International Convenant of Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.
Sementara itu, terkait tindakan anarkis dalam aksi yang diikuti ketujuh terdakwa, Usman berpandangan, polisi seharusnya menelusuri lebih lanjut.
"Tidak bisa dipungkiri, dalam sebuah unjuk rasa, memang ada pihak-pihak yang melakukan kekerasan, ini yang seharusnya diselidiki lebih lanjut oleh polisi," tutur Usman.
"Bukan malah memidanakan mereka yang berekspresi secara damai," kata dia.
Baca juga: Proses Hukum 7 Tapol Papua Dinilai Bias Rasial dan Tak Penuhi Unsur Keadilan
Sementara itu, peneliti Imparsial Ardi Manto Adiputra menilai, perbuatan tujuh terdakwa tersebut tidak bisa digolongkan ke dalam perbuatan makar sebagaimana yang dituduhkan.
Jika ketujuh terdakwa diyakini terbukti terlibat makar, maka semua orang yang berpartisipasi dalam protes melawan rasisme pada saat itu bisa dikenakan pasal makar.
"Di sinilah kita mengatakan penegakan hukum terhadap mereka sudah diskriminatif sejak awal," tegas Ardi.
Baca juga: 7 Tapol Divonis Makar, Imparsial: Pemerintah Sedang Merasa Terancam
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.