Peneliti Auriga Nusantara, Iqbal Damanik menuturkan, pengesahan RUU ini semakin menegaskan keberpihakan pemerintah terhadap korporasi tambang batubara.
Saat ini, terdapat tujuh pemegang kontrak batubara yang bakal habis masa berlakunya dalam kurun waktu lima tahun ke depan.
"Fokus pemerintah saat ini hanya pada penyelamatan pebisnis batubara melalui perubahan UU Nomor 4/2009. Seharusnya pemerintah memaksa perusahaan menuntaskan kewajibannya terlebih dulu, seperti lubang bekas tambang yang diabaikan begitu saja," kata Iqbal dalam keterangan resmi seperti dilansir dari Kompas.id.
Baca juga: Greenpeace: UU Minerba Hanya untuk Kepentingan Pengusaha Batubara
Dua di antara tujuh perusahaan yang akan segera habis izin usahanya yaitu PT Arutmin Indonesia dan PT Kaltim Prima Coal.
Arutmin yang akan habis izinnya pada November 2020 mendatang, diketahui mengantongi izin kawasan seluas 70.154 hektar yang tersebar di wilayah Tanah Bumbu, Tanah Laut, dan Kota Baru Kalimantan Selatan.
Sementara, Kaltim Prima Coal menguasai izin di atas kawasan seluas 90.938 hektar di wilayah Sangatta, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Izin usaha mereka akan habis pada Desember 2021.
Menurut Manajer Kampanye Jatam Nasional Melky Nahar, ada korelasi antara kepentingan pengusaha, parlemen dan eksekutif di dalam pengesahan UU ini.
"DPR RI yang notabene sebagiannya dalam pileg kemarin itu terkait langsung maupun tidak langsung terhadap bisnis itu sendiri. Salah satunya tambang mineral dan batubara," kata Melky, Senin.
Baca juga: ICW Duga Ada Pihak yang Desak DPR dan Pemerintah Segera Sahkan RUU Minerba
Ia juga mensinyalir keberadaaan para pengusaha tambang di balik pencalonan presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2019 lalu.
Menurut dia, baik pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin maupun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, sama-sama didukung oleh pengusaha tambang di belakangnya.
"Kita lihat kubu Jokowi-Ma'ruf ada lebih dari 80 persen biaya kampanye mereka yang kita duga sumbernya berasal dari perusahaan tambang. Di kubu Prabowo juga jelas. Sandiaga Uno secara jelas menjual saham untuk menalangi biaya kampanye yang sangat besar," ujarnya.
"Artinya ada kontribusi secara langsung dari korporasi tambang ini. Mustahil kemudian, mereka tidak punya kepentingan apapun," kata Melky.
Melky menambahkan, tidak ada satu pun perusahaan di dunia yang berorientasi profit yang tidak mengharapkan apapun ketika memberikan dukungan kepada pasangan capres dan cawapres dalam sebuah kontestasi.
"Makanya (pengesahan) RUU ini ngotot dilakukan, tidak hanya teman-teman di DPR, tetapi juga pemerintah yang ketuanya Jokowi, supaya RUU ini disahkan. Artinya, RUU ini jelas merupakan sebagai pesanan dari oligarki tambang itu sendiri," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.