Persoalan lain yang mungkin timbul, imbuh dia, yakni terbentuknya watak eksploitatif lantaran adanya penambahan klausul di dalam Pasal 22 serta penguasaan lahan tanpa batas akibat adanya perubahan pada Pasal 42 ayat 1, 2, dan 3.
"Misalnya di RUU tersebut dijelaskan tentang wilayah pertambangan, sungai, di sana misalnya wilayah sungai purba, tapi terdapat kandungan maksimal ada cadangan tanah itu bisa ditambang. Itu artinya bisa memberikan peluang eksploratif juga kepada warga lokal," ucapnya.
Selain itu, RUU ini juga berpotensi rentan menimbulkan tindakan kriminalisasi terhadap para penolak tambang yang diatur di dalam Pasal 162 dan 164.
Baca juga: Tewaskan 2 Pekerja, Polisi Tutup Lokasi Longsor Tambang Batu di Rembang
Pada saat bersamaan, partisipasi warga ditutup sebagaimana diatur di dalam Pasal 5, Pasal 55, Pasal 58, Pasal 61 dan Pasal 68. Di samping itu, Pasal 1 ayat 28 A yang menyebut wilayah hukum pertambangan dinilai memberikan hak legal bagi pemegang izin untuk bertindak sewenang-wenang.
"Artinya ketika ada pasal yang buat kelonggaran kriminalisasi, itu akan membuat warga tertekan. Menolak. Khawatir karena hukum tidak memihak warga dan malah menjadi senjata aparat dan korporat untuk membungkam warga," ujarnya.
Terakhir, RUU ini juga dinilai menghilangkan kewajiban korporasi untuk mereklamasi galian atau lokasi pertambangan setelah izin usaha habis sebagaimana diatur di dalam Pasal 99 ayat (2).
Direktur Walhi Sumatera Barat Chaus Uslaini menilai, dengan hilangnya kewajiban reklamasi, ancaman kerusakan terhadap lingkungan semakin tinggi.
Baca juga: RUU Minerba, Pemegang Izin Usaha Wajib Reklamasi Lahan Pascatambang hingga 100 Persen
Ironisnya, tak jarang dari lubang bekas galian tambang itu justru dialihfungsikan sebagai obyek wisata baru, alih-alih mengembalikan fungsinya.
"Keberadaan RUU ini hanya dipandang untuk melindungi pelaku bisnis batu bara dan pejabat pemberi izin untuk izin usaha pertambangan batu bara. Sehingga ke depan ancaman terhadap lingkungan semakin tinggi," kata Chaus.
Lubang tambang yang menganga dapat menjadi momok bagi kelangsungan hidup masyarakat.
Jatam mencatat, setidaknya terdapat 3.033 lubang bekas galian tambang batu bara yang dibiarkan menganga tanpa rehabilitasi dan pemulihan. Padahal, lubang-lubang tersebut banyak mengandung logam berat.
Baca juga: Jatam Sorot Jaminan Perpanjangan Izin Usaha Pertambangan dalam RUU Minerba
Pada medio 2014-2018, paling tidak terdapat 140 orang yang telah menjadi korban lubang galian tambang ini. Mayoritas dari para korban adalah anak-anak.
Lubang yang belum direklamasi itu memakan korban di 12 provinsi, dimana Bangka Belitung menjadi provinsi dengan kasus terbanyak (57 kasus) dan disusul Kalimantan Timur (32 kasus).