JAKARTA, KOMPAS.com - Kondisi para anak buah kapal (ABK) dari Indonesia yang berada di kapal ikan asing, terutama asal China, saat ini tengah menjadi sorotan.
Pasalnya, belum lama ini beredar video yang menunjukkan adanya ABK asal Indonesia yang meninggal dunia di kapal China. Jenazahnya kemudian dilarung ke laut.
Setelah video pelarungan jenazah itu viral, diketahui bahwa para ABK asal Indonesia mendapat perlakuan yang tidak semestinya saat bekerja di kapal.
Tidak hanya bekerja tanpa batas waktu, mereka juga mendapat diskriminasi dari ABK negara lainnya, terutama China.
Baca juga: Kematian ABK di Kapal China, Kasus Nyata Perbudakan Modern di Laut
Seperti apa? Berikut paparannya:
Salah satu ABK kapal Taiwan yang berlayar di perairan Gabon, Afrika, Irman Ubaidillah mengaku bahwa dirinya tak memiliki batas waktu selama bekerja.
Semakin banyak tangkapan ikan, maka jam kerjanya pun semakin panjang sehingga menyebabkan jam tidur yang minim. Hal tersebut, katanya, sangat tergantung dengan kebijakan kapten kapal.
"Sistem kerja juga lebih dari satu. Selain menangkap, menyortir, dan mengepak (ikan), kadang ada pekerjaan lain seperti jaga kapal, bantu pekerjaan engineering, bersih-bersih kapal dan seterusnya," kata Irman dalam sebuah diskusi online, Minggu (10/5/2020).
Baca juga: Soal ABK WNI di Kapal China: Temuan Menlu dan Investigasi Pemerintah China
Irman mengatakan, fisik para ABK Indonesia sangat rentan dimanfaatkan oleh para ABK China sehingga pekerjaannya lebih banyak.
Para ABK China, kata dia, lebih banyak mengatur dan memberi perintah saja, sedangkan yang bekerja adalah ABK Indonesia.
"Jika kami lelet kerja, sudah pasti dapat perlakuan kurang baik. Ditendang, ditempeleng. Itu makanan sehari-hari kami," kata dia.
Baca juga: Kuasa Hukum ABK yang Dieksploitasi di Kapal China: Ini Perbudakan Modern...