Tak hanya itu, persoalan makan juga menjadi masalah. Setiap pagi, katanya, ia hanya bisa makan nasi atau bubur dengan tambahan ikan asin. Itu pun, jika ada.
Siangnya, mereka hanya makan ikan yang sudah lama ditangkap dan bukan ikan segar.
Fasilitas pendukung pekerjaan yang didapatkan pun sangat minim. Dalam satu bulan, ia mengaku hanya mendapat sepatu boots dan sarung tangan plastik.
Termasuk juga kelengkapan P3K jika ada yang sakit atau terluka sangat sulit didapatkan.
"Kadang juga gunakan obat seadanya jika terjadi kecelakaan kayak ketusuk duri ikan dan lainnya hanya dibiarkan saja," kata dia.
Baca juga: Pemerintah Masih Cari Tahu Alasan Kapal China Larung Jenazah ABK Indonesia
Hal senada disampaikan Zaenudin, ABK China yang berlayar di perairan Fiji. Ia juga bekerja tidak memiliki jam kerja pasti karena tergantung banyak-sedikitnya tangkapan ikan.
"Biasanya sampai 17 jam. Untuk jam makan bergilir saat kerja. Begitu makan selesai, langsung bergantian dan tidak ada istirahat. Setelah selesai jam istirahat biasanya pukul 09.00 pagi sampai 12.00 siang, lalu bekerja lagi sampai 15.00, istirahat sampai 16.00 dan bekerja lagi," kata dia.
Ia mengatakan, mandor di kapal tidak menyukai apabila ada ABK yang beristirahat.
Jika ada ABK Indonesia yang beristirahat, mereka akan diminta bekerja lagi dan tak segan mendorong atau memukul kepalanya dari belakang apabila bekerja lambat.
Baca juga: Kuasa Hukum Perjuangkan Ganti Rugi ABK yang Dilarung di Laut
Menu makan dan ketersediaan air minum juga sangat kurang. Ia dan ABK Indonesia lainnya bahkan memilih mandi menggunakan air laut tanpa dibilas air tawar agar air tawar tersebut bisa digunakan untuk minum.
Lebih parahnya, ABK Indonesia juga masih tak bisa beristirahat ketika kapal bersandar ke daratan.
"Kalau kapal sandar di pelabuhan, ABK Indonesia disuruh jaga kapal. Kebetulan ada empat orang, di darat dua orang, dua jam suruh jaga. ABK lainnya bebas tugas apalagi orang China," kata dia.
Baca juga: Aturan Perlindungan Awak Kapal Masih Rencana, Terhambat Wabah Pula