Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akurasi Data Diperlukan agar Penyaluran Bansos Tepat Sasaran

Kompas.com - 29/04/2020, 11:14 WIB
Dani Prabowo,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Akurasi data penerima bantuan sosial diperlukan agar penyaluran bantuan sosial oleh pemerintah dalam upaya mengatasi dampak pandemi Covid-19 tepat sasaran.

Data yang tidak akurat mengakibatkan bantuan yang disalurkan salah sasaran, bahkan ada yang menerima bantuan ganda.

Di sisi lain, ada warga yang seharusnya diprioritaskan mendapat bantuan, justru tidak mendapatkannya.

Baca juga: Bantuan Sembako Dampak Covid-19 Tak Sesuai Data, Kepala Desa Stres

 

Seperti persoalan penyaluran bantuan sosial bagi warga terdampak Covid-19 di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, yang membuat pemerintah desa disalahkan oleh sejumlah warga karena dianggap bantuan tidak tepat sasaran.

"Program bantuan untuk warga terdampak corona ini membuat kami stres," kata Kepala Desa Sukaluyu, Kecamatan Ganeas, Edi Sukardi kepada Kompas.com, Senin (27/4/2020) lalu.

Persoalannya, pemerintah provinsi menggunakan data yang tidak sesuai dengan data terbaru yang dikumpulkan pemerintah desa bersama RT/RW ketika menyalurkan bantuan tersebut.

"Pada kenyataannya, warga di wilayah kami yang menerima bantuan paket sembako dari Provinsi Jabar, yang dikirim PT Pos ini bukan warga terdampak Covid-19 yang telah kami ajukan," tutur Edi.

Baca juga: Menurut Alissa Wahid, Mestinya Pemerintah Data Ulang Penerima Bansos

Pengajuan data baru ini sesuai dengan instruksi dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Bupati Sumedang Dony Ahmad Munir, agar kepala desa melakukan validasi dan verifikasi terhadap masyarakat yang berhak menerima bantuan.

Dari 26 warga yang terdaftar, hanya 11 orang yang menerima paket bantuan tersebut.

Bahkan, beberapa di antaranya telah masuk ke dalam daftar penerima bantuan sosial dari program lain.

Persoalan pun tidak berhenti sampai di sana.

Kecemburuan sosial terjadi lantaran warga yang seharusnya diprioritaskan mendapat bantuan justru tidak mendapatkannya.

Bahkan, sejumlah bantuan yang telah diterima terpaksa harus dikembalikan karena berbagai persoalan, mulai dari penerima yang telah meninggal dunia, beda nomor induk kependudukan, hingga nama yang tidak sesuai dengan kartu tanda penduduk (KTP).

"Inilah yang membuat kami stres. Katanya tidak boleh dobel bantuan, tapi kenyataannya, penerima itu menerima dobel bantuan. Jauh sekali dengan data yang kami ajukan sebelumnya," pungkasnya.

Data bermasalah

Persoalan data bermasalah ini tentu harus segera dibenahi. Pasalnya, penyaluran dana bantuan sosial ini melibatkan pihak yang cukup banyak dan jumlah yang tidak sedikit.

Terlebih, pemerintah berencana menjadikan petani sebagai salah satu penerima insentif dari pemerintah agar tetap dapat bertahan selama masa pandemi.

"Pemerintah memberikan BLT sebesar Rp 600.000 (per bulan). Dimana Rp 300.000 merupakan bantuan tunai dan Rp 300.000 itu (untuk) sarana prasarana produksi pertanian," kata Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto usai rapat kabinet terbatas dengan Presiden Joko Widodo, Selasa (28/4/2020).

Menurut dia, saat ini terdapat 2,44 juta petani yang masuk kategori miskin yang perlu diberikan insentif oleh pemerintah.

Penyaluran BLT bagi petani ini kemungkinan akan sama seperti program bansos lainnya yakni selama tiga bulan.

"Ini diharapkan periode selama tiga bulan dan teknis akan diumumkan Kementan (Kementerian Pertanian)," ucapnya.

Baca juga: Data Penerima Bansos Bermasalah, Ini Penjelasan Kemensos

Seperti diketahui, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 405,1 triliun di dalam APBN 2020 untuk membantu mengatasi persoalan perekonomian sebagai dampak pandemi Covid-19.

Fokus anggaran dari stimulus ketiga ini terbagi menjadi empat, yaitu belanja di bidang kesehatan, jaring pengaman sosial, dukungan kepada industri dan program pemulihan ekonomi nasional.

Bansos merupakan bagian dari jaring pengaman sosial, yang diharapkan dapat membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangan dan menjaga daya beli. Anggaran bansos yang disiapkan mencapai Rp 110 triliun.

Anggaran tersebut digunakan untuk sejumlah program seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Kartu Prakerja, bantuan langsung tunai (BLT) dan sebagainya.

Menurut Kepala Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial Said Mirza Pahlevi, pihaknya telah berkoordinasi dengan pemerintah daerah beserta kementerian/lembaga lainnya dalam penyaluran bansos.

Baca juga: Data Bansos Bermasalah, Mensos Minta Pemda Lengkapi

"Koordinasi dengan pemda dan kementerian serta lembaga lain agar mereka memberikan bansos ke keluarga-keluarga yang tidak mendapatkan (bansos) dari Kemensos," kata Mirza kepada Kompas.com.

Ia mengklaim, Kemensos telah menyerahkan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) kepada seluruh kepala daerah, sebagai acuan dalam pengusulan data bansos tunai dan memberikan kebebasan kepada pemda untuk mengusulkan data penerima yang berada di luar DTKS.

Namun, pengusulan itu harus memenuhi syarat bahwa individu bukan penerima bansos program keluarga harapan (PKH) dan/atau bukan penerima bantuan pangan non tunai (BPNT).

"Hal ini dilakukan untuk menghindari overlap penerima bansos Covid-19," tutur Mirza.

Baca juga: Komisi VIII Minta Kemensos Pastikan Data Bansos Sesuai yang Diajukan Pemda

Mirza pun memastikan bahwa persoalan yang terjadi di Sumedang bukanlah bagian dari bantuan yang disalurkan oleh Kemensos.

Sementara itu, Bupati Sumedang Dony Ahmad Munir menilai, ada hal yang perlu diluruskan dalam persoalan penyaluran bansos di wilayahnya.

Ada dua kelompok besar penerima bansos dari Pemprov Jawa Barat, yaitu DTKS dan non-DTKS. Kelompok DTKS merupakan warga yang selama ini sudah rutin menerima berbagai bantuan sosial dari pemerintah.

Sementara, kelompok non-DTKS merupakan kelompok warga miskin baru yang terdampak Covid-19.

"Mereka (kelompok non-DTKS) diusulkan oleh RT dan RW, kemudian diverifikasi dan divalidasi oleh pemerintah," ungkap Dony kepada Kompas.com.

Baca juga: Penjelasan Lengkap Bupati Sumedang soal Pembagian Bantuan Sosial

Menurut dia, hampir di seluruh wilayah kabupaten/kota di Jawa Barat, proses varifikasi dan validasi terhadap kelompok ini belum selesai. Sehingga, saat ini pemerintah masih terus berupaya agar proses tersebut segera dirampungkan.

Nantinya, kelompok ini akan menerima bantuan dari empat pintu, yakni dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan dana desa.

Sejauh ini, terdapat 128.480 kepala keluarga di Sumedang yang tervalidasi sebagai kelompok non-DTKS oleh Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kabupaten Sumedang.

Data tersebut sebelumnya telah disaring dari total 156.025 KK yang disampaikan oleh RT/RW se-kabupaten. Proses validasi melibatkan Dnas Kependududkan dan Pencatatan Sipil guna mengetahui apakah terjadi dobel data atau mungkin data yang tidak sesuai.

Setelah validasi oleh Disdukcapil, verifikasi juga dilakukan oleh Dinas Sosial agar tidak terjadi irisan.

Percepat validasi

Sejak pandemi Covid-19 terjadi, tidak sedikit masyarakat yang tadinya masuk ke dalam kelompok kelas menengah kini menjadi kelompok miskin. Baik itu dikarenakan kehilangan pekerjaan maupun turunnya penghasilan.

Menurut ekonom INDEF, Bhima Yudhistira, kelompok ini termasuk ke dalam kelompok masyarakat yang membutuhkan bantuan dari pemerintah.

Namun sebelumnya, pemerintah harus segera melakukan validasi data penerima bansos agar tidak terjadi tumpang tindih penerima bantuan.

Baca juga: Data Bansos Bermasalah, Ini Tiga Hal yang Bisa Dilakukan Pemerintah

 

"Mungkin bulan ini bisa dipercepat proses validasi. Karena kondisinya di level pemerintah desa dan pemerintah kabupaten mungkin siap untuk mendistribusikan bantuan, tapi khawatir terjadi overlapping tadi," kata Bhima kepada Kompas.com.

Kekhawatiran cukup wajar terjadi. Sebab, kepala daerah dibayangi aturan ketat bila terindikasi melakukan korupsi dalam proses penyaluran bansos tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, pelaku yang mengkorupsi anggaran pada saat terjadi bencana dapat dihukum seumur hidup.

Bhima menilai, ada tiga hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi persoalan data tersebut. Pertama, melakukan koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah hingga ke level desa.

"Karena sekarang ini masing-masing punya program bantuan sosial, misalnya dana desa sebagian untuk BLT (Bantuan Langsung Tunai), artinya kita harus punya pendataan yang sifatnya bottom up," kata dia.

Baca juga: Indef: Validasi Data Penerima Bansos Harusnya Sejak Awal

Kedua, bekerja sama dengan perusahaan konvensional yang berencana merumahkan karyawannya.

Kerja sama juga bisa dilakukan dengan perusahaan berbasis daring yang memiliki banyak mitra yang terpukul kondisi perekonomiannya akibat pandemi Covid-19.

Menurut Bhima, perusahaan berbasis daring seperti ojek online memiliki data yang cukup lengkap untuk setiap mitra drivernya. Sehingga, potensi kasalahan dalam penyaluran bantuan pun dapat diminimalisasi.

"Aplikasi online yang memiliki driver dalam jumlah banyak, itu data sudah lengkap tuh data by name, by address," ujarnya.

Ketiga, pemerintah juga dapat memanfaatkan data perbankan yang selama ini kerap memberikan kredit terutama kepada pelaku usaha mikro.

Sebab, pelaku usaha mikro ini menjadi salah satu sektor yang paling terdampak akibat pandemi ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com