"Akan tetapi, perkara tersebut tetap diputus," kata jaksa.
5. Berharap PK dikabulkan
Dalam kesimpulan memori PK, jaksa berharap majelis hakim PK mengabulkan permohonan yang diajukan.
"Kami mohon supaya majelis hakim peninjauan kembali pada Mahkamah Agung memutuskan, satu, menerima dan mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan jaksa atau Pemohon PK," kata jaksa.
Baca juga: Eks Pengacara Syafruddin Temenggung Bantah Bahas Perkara BLBI dengan Hakim Agung
Selain itu, jaksa berharap majelis hakim PK pada MA membatalkan putusan kasasi yang melepas Syafruddin Arsyad Temenggung.
Jaksa juga berharap hakim menyatakan Syafruddin terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sesuai putusan majelis hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dikuatkan oleh putusan majelis hakim pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Saat itu, Syafruddin divonis 15 tahun penjara. Ia juga diwajibkan membayar denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan.
"Kami memohon menjatuhkan pidana terhadap Termohon PK sebagaimana putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tanggal 2 Januari 2019," kata jaksa.
6. Jaksa KPK dinilai tak punya kedudukan hukum
Usai persidangan, pengacara Syafruddin, Hasbullah menilai jaksa KPK tak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan PK.
"Jadi di dalam putusan MK, SEMA 2014, disampaikan, jaksa secara tegas dilarang mengajukan PK. Karena PK itu hanyalah hak terpidana dan ahli warisnya. Dan putusan yang dapat diajukan PK adalah putusan pemidanaan bukan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan. Ini yang dilanggar oleh KPK secara prosedur acara," kata dia.
"Makanya kami minta ditolak sejak awal, tapi yang mulia majelis hakim mau dilanjutkan dulu, ya, kami hormati tanggapan majelis hakim," ujarnya.
Hasbullah menyebutkan hal itu disinggung dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.
Kemudian, Hasbullah juga menyoroti putusan MK Nomor: 33/PUU-XIV/2016. Salah satu poinnya menyatakan, dalam praktiknya, MA ternyata menerima permohonan PK yang diajukan oleh jaksa penuntut umum terlepas dari dikabulkan atau tidaknya permohonan dimaksud.
Baca juga: KPK Dalami Pelanggaran Etik Hakim MA yang Bebaskan Syafruddin Temenggung
Masih berdasarkan pertimbangan putusan MK, terhadap keadaan tersebut, muncul silang pendapat di kalangan akademisi maupun praktisi hukum tentang apakah jaksa berhak mengajukan PK terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Hasbullah menjelaskan, MK melalui putusan Nomor: 33/PUU-XIV/2016 telah memberikan penafsiran konstitusional atas ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang bunyinya sebagai berikut:
"Mengabulkan permohonan Pemohon: Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo;
Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo"
"Sejak tahun 2014 sudah tidak ada pengajuan PK oleh jaksa penuntut umum. Karena itu sangat disayangkan jaksa KPK pada tanggal 17 Desember 2019 atau 3 hari menjelang pergantian pimpinan KPK telah mengajukan PK atas putusan bebas kasasi MA No.1555 K/Pid.Sus/2019," kata dia.
Ia menilai atas pertimbangan dalam SEMA dan putusan MK, pengajuan PK oleh KPK tidak memenuhi syarat formil sebagaimana diatur dalam Pasal 263 juncto Pasal 266 Ayat (2) KUHAP.
KPK juga dinilai Hasbullah telah melanggar hukum dalam penerapan hukum pidana, baik terhadap putusan MK dan peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.