Tiga hari setelah pertemuan dengan Syamsul Rakan, Ahmad Yani kembali menemui Syafruddin di rutan KPK.
"Satu minggu setelah pertemuan tersebut, bersamaan dengan hari terakhir masa penahanan terdakwa, majelis hakim kasasi memutus perkara tersebut dengan menyatakan perbuatan terdakwa terbukti sebagaimana dalam dakwaan," kata jaksa.
"Akan tetapi, perbuatan itu tidak merupakan tindak pidana serta melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum," lanjut jaksa.
Salah satu alasan perkara tersebut diputus lepas karena hakim Syamsul merupakan salah satu anggota majelis yang berpendapat perbuatan Syafruddin adalah perbuatan perdata.
Jaksa juga menepis klaim Ahmad Yani yang mengaku sudah tidak aktif membela Syafruddin di tingkat kasasi lantaran fokus pada sengketa Pemilu 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Selama Syafruddin Arsyad Temenggung ditahan, diketahui bahwa Ahmad Yani ada sebanyak 34 kali berkunjung ke rutan KPK," kata jaksa.
Baca juga: KPK Dalami Pelanggaran Etik Hakim MA yang Bebaskan Syafruddin Temenggung
Jaksa mengingatkan, seorang hakim tidak boleh berkomunikasi dengan pihak yang berperkara di luar persidangan.
Hal itu demi kepentingan kelancaran persidangan yang dilakukan secara terbuka, diketahui pihak yang berperkara, serta tidak melanggar prinsip persamaan perlakuan.
Jaksa juga menyoroti hasil pemeriksaan Badan Pengawas MA yang menyatakan bahwa hakim Syamsul melanggar prinsip-prinsip kode etik dan pedoman perilaku hakim.
"Padahal dalam menangani perkara seorang hakim harus memegang teguh prinsip imparsialitas supaya terhindar dari benturan kepentingan," kata jaksa.
3. Pertimbangan dan putusan dinilai kontradiktif
Jaksa juga melihat ada kontradiksi antara pertimbangan dan putusan hakim pada MA terkait perkara kasasi ini.
"Bahwa dalam amar putusannya majelis hakim menyatakan perbuatan terdakwa terbukti sebagaimana surat dakwaan penuntut umum tetapi bukan merupakan tindak pidana," kata jaksa.
"Hal ini bertentangan dengan pertimbangan putusan perkara a quo pada halaman 95 sampai 108 dimana majelis hakim justru menguraikan fakta-fakta yang pada pokoknya terdakwa tidak melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan," lanjut jaksa.
Baca juga: Ajukan PK, Jaksa Nilai Pertimbangan dan Putusan Lepas Syafruddin Temenggung Kontradiktif
Jaksa berpendapat, pertimbangan yang diuraikan majelis hakim hanya mengambil alih dalil-dalil yang diuraikan terdakwa Syafruddin saat itu melalui penasihat hukumnya.
Sementara, fakta-fakta yang dikemukakan jaksa dalam surat tuntutan yang sudah dinyatakan terbukti pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dikuatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, dikesampingkan dan tidak dipertimbangkan majelis hakim.
4. Tidak ada suara mayoritas
Jaksa juga merujuk pada tulisan mantan hakim agung Artidjo Alkostar yang menjelaskan bahwa perbedaan pendapat hakim dalam putusan ada tiga jenis.
Pertama, unanimous. Yakni, putusan pengadilan berdasarkan suara bulat dari para hakim yang mengadili perkara.
Kedua, concurring opinion. Yakni, apabila pendapat seorang hakim sependapat dengan pendapat hakim yang mayoritas tentang amar putusan.
Misalnya, setuju koruptor dihukum 8 tahun, tapi sang hakim memiliki pertimbangan hukum yang berbeda.
Ketiga, dissenting opinion. Yakni, apabila seorang hakim berbeda pendapat dengan hakim mayoritas, baik tentang pertimbangan hukum maupun amar putusan.
"Dalam putusan kasasi Syafruddin Arsyad Temenggung, masing-masing hakim memiliki pendapatnya sendiri dan berbeda satu sama lain. Tidak ada suara mayoritas dari majelis hakim," kata jaksa.
Dengan mengacu pada penjelasan Artidjo, lanjut jaksa, perbedaan putusan dalam perkara kasasi itu tidak masuk dalam tiga jenis perbedaan putusan yang dimaksud.