JAKARTA, KOMPAS.com - Vonis lepas di tingkat kasasi terhadap terdakwa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung tak membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) putus asa.
Pada Kamis (9/1/2020), jaksa KPK resmi menyampaikan poin-poin memori permohonan Peninjauan Kembali (PK) di hadapan majelis hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Permohonan PK ini juga memicu kritikan pihak Syafruddin yang diwakili tim penasihat hukumnya.
Berikut adalah rangkuman dari persidangan dengan agenda penyampaian permohonan PK tersebut:
1. Jaksa KPK nyatakan layak ajukan PK
Jaksa KPK Haerudin menyampaikan bahwa upaya PK dalam sistem peradilan pidana Indonesia dimaksudkan untuk mengoreksi putusan berkekuatan hukum tetap yang keliru.
Sehingga tidak ada pihak yang kepentingannya dirugikan, baik kepentingan terpidana maupun kepentingan korban tindak pidana yang diwakili oleh negara melalui proses penuntutan.
"Dalam kasus korupsi, negara dapat menjadi korban langsung dari pelaku tindak pidana korupsi tersebut dengan timbulnya kerugian keuangan negara," kata jaksa.
Baca juga: Ajukan PK, Jaksa Nilai Pertimbangan dan Putusan Lepas Syafruddin Temenggung Kontradiktif
Jaksa juga memaparkan terdapat yurisprudensi hukum yang mengabulkan permohonan PK dari jaksa. Misalnya, putusan PK dalam perkara Pollycarpus Budihari Priyanto.
Jaksa menyebutkan, dalam pertimbangan majelis hakim PK pada perkara Pollycarpus, menyatakan permohonan PK yang diajukan penuntut umum atas putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, secara formal dapat diterima.
"Meskipun Pasal 263 Ayat (1) KUHAP menentukan secara limitatif bahwa yang berhak mengajukan permohonan PK adalah terpidana atau ahli warisnya," kata jaksa.
Baca juga: Jaksa KPK Berharap PK atas Kasasi Syafruddin Temenggung Dikabulkan
Jaksa turut merujuk pada Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pasal itu menyiratkan ada kesempatan seimbang terhadap pihak yang berperkara melakukan upaya hukum luar biasa untuk mengoreksi putusan hakim.
Yaitu, apabila adanya keadaan tertentu, seperti dengan ditemukannya bukti baru dan atau adanya kekhilafan atau kekeliruan hakim dalam menerapkan hukumnya.
Jaksa juga menyertakan berbagai aturan lainnya serta pandangan-pandangan ahli hukum dalam memori PK tersebut.
2. Jaksa nilai hakim agung langgar prinsip imparsialitas
Dalam salah satu poin memori PK, jaksa menilai ada kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata atas putusan kasasi Syafruddin Arsyad Temenggung.
Salah satunya terkait komunikasi dan pertemuan mantan pengacara Syafruddin bernama Ahmad Yani dan salah satu hakim agung yang memutus lepas Syafruddin, yakni Syamsul Rakan Chaniago.
"Anggota majelis hakim melanggar prinsip imparsialitas dalam memutus perkara. Sebelum perkara diputus di tingkat kasasi, berdasarkan call data records, terdapat beberapa kali komunikasi antara hakim ad hoc Syamsul Rakan Chaniago dan Ahmad Yani selaku penasihat hukum Syafruddin Arsyad Temenggung," kata jaksa KPK Haerudin.
Baca juga: Ajukan PK Kasus BLBI, Jaksa Soroti Pertemuan Hakim Agung dan Eks Pengacara Syafruddin Temenggung
Selain itu, jaksa juga menyoroti pertemuan Ahmad Yani dan Syamsul di Cafe Segafredo Plaza Indonesia Jakarta pada 28 Juni 2019 pukul 17.51 WIB.
Menurut jaksa, berdasarkan rekaman kamera Closed Circuit Television (CCTV) Syamsul dan Ahmad Yani terlihat bersama Ahmad Yani keluar dari kafe tersebut.
Kemudian, lanjut jaksa, keduanya juga tampak mengobrol di lobi selatan Plaza Indonesia.
Pertemuan itu terjadi dua minggu sebelum perkara kasasi Syafruddin diputus.
Selain itu, satu hari sebelum pertemuan, Ahmad Yani mengunjungi rutan KPK untuk bertemu Syafruddin.