JAKARTA, KOMPAS.com - Sepanjang 2019, beberapa isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masih banyak terjadi di Indonesia.
Beberapa di antaranya merupakan kekerasan yang diakibatkan penanganan kepolisian dalam menangani demonstrasi atau aksi massa.
Catatan yang dihimpun Kompas.com, terdapat beberapa kasus yang terjadi sepanjang 2019 dan diduga mengandung unsur pelanggaran HAM.
Pada Mei 2019, tepatnya pada tanggal 21-22, aksi massa berujung kerusuhan terjadi di depan kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, pasca-pengumuman pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Aksi massa tersebut berbuntut kericuhan di beberapa wilayah Jakarta Pusat, seperti Slipi, Petamburan, dan Tanah Abang. Kerusuhan ini juga menyebabkan korban jiwa dan luka-luka.
Dari catatan polisi, ada 9 korban jiwa yang meninggal dunia. Empat di antaranya tewas akibat peluru tajam dan lima lainnya diindikasi tewas karena hal yang sama serta benda tumpul.
Amnesty International Indonesia juga menemukan setidaknya ada empat korban dugaan penyiksaan yang dilakukan personel Brimob saat kerusuhan 21-22 Mei 2019 berlangsung.
Baca juga: Rekomendasi Komnas HAM untuk Pemerintah terkait Kerusuhan 21-22 Mei
Penyiksaan tersebut dilaporkan terjadi di sebuah lahan kosong di Kampung Bali, Jakarta Pusat, pada 23 Mei 2019 pagi.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan DKI, terdapat 905 orang korban dalam kerusuhan 22 Mei tersebut. Angka ini termasuk mereka yang tewas.
Sejumlah lembaga masyarakat sipil menyoroti kekerasan yang dilakukan aparat keamanan, termasuk kepada anak-anak.
Kontras dan LBH Jakarta menemukan ada setidaknya dua anak yang mengalami kekerasan dan penahanan secara sewenang-wenang oleh pihak kepolisian.
Baca juga: Kontras dan LBH Jakarta: 2 Anak yang Ditangkap Terkait Kerusuhan 21-22 Mei Diduga Disiksa Polisi
Komnas HAM juga menduga ada kelompok profesional, terlatih, dan terorganisasi untuk menimbulkan kerusuhan.
Namun, Komnas HAM tidak dapat mengidentifikasi kelompok tersebut.
Baca juga: Ini Temuan Komnas HAM atas Kerusuhan 21-22 Mei di Jakarta...
Kerusuhan juga terjadi di Papua dan Papua Barat pada Agustus 2019, pasca-tindakan rasisme aparat kepada mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang.
Peristiwa yang terjadi pada 19 Agustus 2019 itu dimulai di Manokwari, Papua Barat dan meluas ke beberapa wilayah lainnya seperti Sorong, Jayapura, Wamena, Fakfak, dan Timika beberapa hari kemudian.
Dalam kerusuhan itu, massa memblokade sejumlah ruas jalan dan membakar beberapa fasilitas umum, kendaraan, bandara, lapas, hingga kantor pemerintahan, seperti Kantor DPRD Papua Barat.
Diskriminasi dan aksi rasisme terhadap masyarakat Papua oleh aparat keamanan dinilai sebagai bentuk pelanggaran HAM.
Baca juga: Stafsus Presiden Minta Polisi Tangkap Pelaku Persekusi dan Rasisme di Asrama Papua
Aksi unjuk rasa siswa di Kota Wamena, Papua, Senin (23/9/2019) juga berujung rusuh.
Unjuk rasa yang berujung rusuh itu diduga dipicu oleh perkataan bernada rasial seorang guru terhadap siswanya di Wamena. Terdapat 30 orang tewas akibat kerusuhan ini.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik menyatakan, pihaknya menemukan dugaan 10 orang Papua tewas terkait kerusuhan di Wamena, Papua.
Namun, 10 orang tersebut belum tercatat oleh pihak keamanan.
Temuan ini didapat Komnas HAM setelah tim Komnas HAM mendatangi Wamena pada 13-17 Oktober 2019 untuk mendalami kasus pascakerusuhan.
Baca juga: Komnas HAM Temukan 10 Warga Papua Diduga Tewas dalam Kerusuhan Wamena
Pada September 2019, kerusuhan yang berujung terjadinya kekerasan terhadap mahasiswa oleh aparat keamanan berlangsung di sekitar Gedung DPR/MPR RI dan Kampus Atmajaya, Jakarta Pusat.
Kerusuhan tersebut berawal dari aksi demonstrasi para mahasiswa seluruh nusantara untuk memprotes pengesahan revisi Undang-Undang KPK dan penundaan pengesahan RKUHP.
Mereka berkumpul di Gedung DPR RI untuk mendesak tuntutannya tersebut. Semula, aksi yang berlangsung damai itu menjadi ricuh pada sore hari dan berujung bentrok dengan polisi.
Polisi juga diketahui menyisir sejumlah lokasi untuk menangkap para mahasiswa tersebut.
Baca juga: Lini Masa Aksi Mahasiswa di Gedung DPR, Blokade Jalan hingga Mosi Tak Percaya
Aksi tersebut digelar pada 23 dan 24 September 2019 dan dilanjutkan pada 25 September 2019 oleh siswa SMK dari beberapa wilayah di Jakarta.
Selain mahasiswa dan pelajar SMK yang menerima tindakan kekerasan dari aparat, sejumlah jurnalis juga mengalami hal serupa saat meliput kejadian itu.
Polisi juga menangkap banyak mahasiswa dan pelajar atas kejadian tersebut.
Pada 26 September 2019, dua orang mahasiswa tewas saat melakukan aksi demonstrasi serupa di Kendari, Sulawesi Selatan setelah bentrokan dengan polisi.
Kekerasan yang dilakukan aparat keamanan menjadi catatan kelam pelanggaran HAM pada periode akhir pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla.
Baca juga: Ke DPR hingga KPK, Memperjuangkan Keadilan bagi Yusuf dan Randi...
Pada Desember 2019, kasus dugaan pelanggaran HAM juga terjadi di Tamansari, Bandung, Jawa Barat saat Pemerintah Kota Bandung menggusur permukiman warga kawasan tersebut.
Dalam sebuah video yang beredar, aparat kepolisian tampak memukul warga saat mereka mengamankan penggusuran tersebut.
Seperti dikutip dari Tribunnews.com, lebih dari sepuluh orang ditangkap pihak kepolisian saat kericuhan di Kawasan Tamansari, Kota Bandung, Kamis (12/12/2019) siang.
Aparat kepolisian melakukan penyisiran hingga ke dalam pertokoan Balubur Town Square (Baltos) Bandung.
Baca juga: Komnas HAM Minta Pelaku Kekerasan saat Penggusuran Tamansari Diperiksa
Penangkapan sejumlah orang tersebut diduga karena melakukan perlawanan dan mulai melakukan pelemparan terhadap pihak kepolisian.
Saat dilakukan penyisiran, beberapa orang berhamburan ke dalam pertokoan. Proses penyisiran dilakukan selama setengah jam.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebutkan bahwa penanganan masalah HAM selama 2019 di Indonesia mengalami kemunduran.
"Kami menemukan pada tahun 2019 ada situasi dimana demokrasi dan penegakan HAM berjalan mundur dengan parameter indikator, khususnya berkaitan dengan persoalan kasus HAM dan kebijakan pemerintah tahun 2019," kata Koordinator Kontras Yati Andriyani saat konferensi pers di kantor KontraS, Jalan Kramat II, Jakarta Pusat, Selasa (10/12/2019).
Yati mengatakan, selama 2019 terdapat tiga peristiwa besar yang bisa jadi rujukan persoalan HAM di Indonesia.
Peristiwa tersebut adalah kerusuhan pasca-pilpres 2019, rasis berujung demo di Papua, dan rangkaian demo mahasiswa di DPR pada September lalu.
Baca juga: Sayangkan Pernyataan Mahfud MD, Kontras: Orang Awam Juga Tahu Ada Pelanggaran HAM
Ketiga peristiwa itu, menurut Yati, menimbulkan banyak korban luka dan meninggal dunia. Peristiwa itu juga dinilai menurunkan level kebebasan berpendapat.
"Tiga peristiwa di atas tidak saja menyebabkan terjadinya rangkaian penangkapan, penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan jatuhnya korban jiwa, tapi yang lebih penting adalah rangkaian peristiwa ini efektif membungkam dan menurunkan level kebebasan untuk menyampaikan pendapat," ujarnya.
"Kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua, ini juga jadi temuan khusus kami. Banyak sekali temuannya, mulai dari persoalan meningkatnya represi dan kekerasan di Papua, angkanya juga cukup signifikan. Kemudian juga kami menemukan banyak orang jadi korban penangkapan, penahanan juga korban jiwa dalam peristiwa atau penanganan isu-isu di Papua," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.