JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung meminta Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian tak buru-buru mengusulkan evaluasi pelaksanaan Pilkada secara langsung.
Menurut dia, ada empat opsi sebelum pemerintah dan DPR melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan Pilkada secara langsung.
"Kalau kita bisa mengambil hipotesis sebelum melakukan ini (evaluasi Pilkades langsung), ada bisa jadi beberapa opsi terjadi," kata Doli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (14/11/2019).
Baca juga: Pilkada Serentak 2020, Bawaslu Mamuju Rekrut Panwascam Secara Online
Pertama, menurut Doli, pengembangan demokrasi di kabupaten/kota harus dipertahankan. Salah satunya, dengan melibatkan masyarakat dalam memutuskan kebijakan publik.
Untuk itu, ia menilai, Pilkada langsung tetap dilakukan di kabupaten/kota.
"Kalaupun kita bilang pemilihan langsung ya cukup hanya di kabupaten/kota saja karena provinsi itu adalah kepanjangan tangan dari pemerintahan pusat dan sifat-nya adalah koordinatif, itu bisa salah satu opsi," ujarnya.
Kedua, Pilkada dengan teori asimetris. Doli menjelaskan, asimetris ini sebagai upaya mengurangi politik uang yang terjadi di Pilkada.
Doli mencontohkan, bagi daerah-daerah yang memiliki tingkat kesejahteraan dan pendidikan tinggi diasumsikan tak terlibat politik uang, sehingga Pilkada langsung tetap dilakukan.
Sedangkan, daerah yang memiliki tingkat kesejahteraan rendah, diasumsikan akan mudah terjadi praktik dalam politik uang, sehingga pilkada diwakilkan ke DPRD.
"Karena tak ingin politik uang, maka enggak apa-apa lah kalau diperkotaan kita pertahankan pilkada langsung, tapi kalau di daerah yang tingkat masyarakatnya masih rendah pendidikannya kita tetap kita kembalikan ke DPRD. Itu salah satu opsi," ujarnya.
Ketiga, kata Doli, pilkada secara langsung tetap dilakukan tetapi harus dibuat aturan-aturan yang spesifik.
Terakhir, Pilkada diwakilkan ke DPRD, namun diperlukan kajian mendalam agar mendapatkan satu keputusan yang tepat.
"Kita pilih itu (salah satu opsi) bukan untuk lagi coba-coba, jadi kalau sekali kita menetapkan ini saya kira sudah lah , kita pertahankan 15-20 tahun yang akan datang," pungkasnya.
Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian mempertanyakan apakah pilkada langsung masih relevan saat ini.
Hal itu dikatakan Tito saat ditanya persiapan Pilkada oleh wartawan, usai rapat kerja dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, (6/11/2019).
"Tapi kalau dari saya sendiri justru pertanyaan saya adalah apakah sistem poltik pemilu Pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun," kata Tito seperti dikutip dari Tribunnews.
Tito berpandangan bahwa mudarat Pilkada langsung tidak bisa dikesampingkan. Oleh karena itu, ia menganjurkan adanya riset atau kajian dampak atau manfaat dari Pilkada langung.
Baca juga: Usul Tito soal Evaluasi Pilkada Langsung dan Jawaban Jokowi...
"Laksanakan riset akademik. Riset akademik tentang dampak negatif dan positif pemilihan Pilkada langsung. Kalau dianggap positif, fine. Tapi bagaiamana mengurangi dampak negatifnya? Politik biaya tinggi, bayangin," kata Tito.
Tito tidak menjawab saat ditanya apakah kajian tersebut nantinya akan mengarah pada wacana Pilkada tidak langsung atau dipilih melalui DPRD.
Yang pasti menurutnya saat ini perlu perbaikan dari sistem Pilkada langsung agar tidak terlalu banyak menimbulkan dampak negatif.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.