BERGABUNGNYA Prabowo dalam kabinet Jokowi periode kedua menggugah kita untuk mempertanyakan kembali urgensi kontestasi pemilu beberapa bulan lalu.
Apakah pemilu kita menggiring kita pada penguatan demokrasi atau alih-alih kita menggelarnya sekedar sebagai ritual 5 tahunan semata.
Jeane J. Kirkpatrick, mantan duta besar AS untuk Perserikan Bangsa-Bangsa pernah berujar, “Pemilu yang demokratis tidak sekadar legitimasi simbolis atau afirmasi kolektif. Pemilu yang demokratis merupakan pemilu yang kompetitif, berkala, inklusif, dan definitif di mana para pembuat keputusan suatu pemerintahan dipilih oleh warga negara yang menikmati kebebasan luas untuk mengkritik pemerintah, menerbitkan kritiknya dan menyajikan alternatif-alternatif (World Affairs Institute, 1984)”.
Kembali lagi ke pertanyaan awal, apakah pemilu kita menggiring kita pada penguatan demokrasi atau alih-alih sekadar seremoni 5 tahunan semata?
Secara sederhana pemilu memang ditujukan untuk melembagakan persaingan antar partai. Kompetisi ini perlu dilembagakan agar pertikaian fisik tidak terjadi.
Namun, menganggap pemilu hanya sebagai jalan untuk menghindari bentrokan antar kelompok kepentingan demi kekuasaan pada masa dan waktu tertentu saja begitu naïf.
Pemilu merupakan institusi sentral dalam demokrasi (Jeane J. Kirkpatrick, 1984). Makanya dalam pemilu kita mengenal lembaga-lembaga politik seperti Partai Politik, KPU, Bawaslu, DKPPP.
Lembaga-lembaga ini berperan sebagai peserta, pengorganisir, pengawas, serta pengawas etik pihak penyelenggara.
Pemilu yang demokratis secara esensial tidak hanya ditujukan untuk menjauhi kekerasan, tapi sekaligus membentuk rival yang loyal, solid, dan tunduk pada nilai-nilai demokrasi yang sigap mengampu mandat penyeimbang pemerintah.
Di sinilah intipati dari keseimbangan demokrasi terbentuk.