Karena itu, undang-undang Pemilu kita sudah sepatutnya direvisi kembali dengan menghapus ambang batas presidential threshold dan mendorong kemudahan pendirian partai politik supaya demokrasi kita berjalan dinamis.
Sebab tujuan pemilu bukan hanya untuk mencari pemenang namun juga penentang. Toh, sistem multi-partai di Indonesia sangat cocok dengan kondisi Indonesia yang majemuk.
Paradigma ini penting agar demokrasi kita tidak dibajak oleh pihak-pihak tertentu untuk meraup segenap keuntungan dari proses politik yang berlangsung karena tiadanya kontrol efektif yang ditimbulkan lantaran absennya oposisi.
Mekanisme check and balance merupakan kunci pokok demokrasi. Tanpa dua mekanisme tersebut justru demokrasi kita akan tenggelam dan tergantikan oleh otoritarianisme oligarkis. Mengingat partai-partai Indonesia dikuasasi oleh segelintir elite oligarki.
Sementara menyerahkan mandat kritik (check and balance) hanya kepada media dan rakyat tanpa adanya kaum oposisi yang mewakili mereka sama halnya membawa kembali chaos jalanan, anarkisme.
Pasalnya, saluran kritik tidak lagi terlembaga. Seperti dikatakan Rocky Gerung dalam wawancaranya dengan Detik (21/10/2019), kekacauan akan terjadi sebab “tidak ada yang mengucapkan kepentingan alternatif dari rakyat”.
Memang, demokrasi akan berjalan pincang tanpa kehadiran kaum oposan. Kekacauan dan anarkisme akan muncul.
Aksi penolakan rakyat terhadap beberapa rancangan undang-undang yang berujung pada kisruh jalanan sebulan lalu memotret ikhwal tersebut.
Karena, tak ada satupun partai yang dapat diandalkan dan teguh berdiri sebagai penyalur kritik rakyat. Absennya kaum oposisi memungkinkan rakyat untuk memilih jalannya sendiri.
Dilihat dari fakta sejarah kepemiluan di Indonesia, memang hanya sedikit sekali partai politik yang konsisten menjadi oposisi pasca kekalahan mereka.
Terhitung hanya PDI-P dan PKS yang konstan melakukan hal itu.
PDI-P gigih menjadi oposisi semasa dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yuhoyono, sedangkan PKS solid sebagai oposisi selama dua kali kepemimpinan Jokowi.
Partai-partai lainnya acapkali tergoda masuk aliansi pemerintahan meski telah kalah dalam pemilu.
Di 2019, kita ingat betul, di masa-masa awal kampanye hingga akhir pemilihan, rivalitas Gerindra dan PDI-P menampakkan potret persaingan yang panas.