Polarisasi politik betul terasa. Hal ini tampak dari macam-macam aktivitas kampanye dua kubu yang berusaha mati-matian memperjuangkan platform dan gagasan besar masing-masing calon.
Tidak ada yang salah dari perseteruan semacam itu sepanjang keduanya menaati lalu lintas hukum yang berlaku.
Bahkan, rivalitas semacam itu penting di alam demokrasi supaya selepas pemilu, militansi dan proses dialektis dua kubu tetap berlanjut.
Pihak yang kalah harapannya meneruskan tugasnya untuk mengawal, mengkritik, mengomentari, memberi masukan bahkan melakukan lobi terhadap pemenang bila ternyata gagasan mereka tidak efektif atau bertentangan dengan kemauan rakyat.
Bersandar pada kejadian sepanjang pemilu tersebut, kita pun kadung optimistis, kelak, pasti satu di antara mereka akan menjadi kelompok penyeimbang pemerintah yang signifikan.
Namun faktanya, kelompok penyeimbang yang didambakan tidak hadir, terlepas dari kesolidan PKS, PAN, dan Demokrat yang kini tetap tak mengubah posisi mereka sebagai oposisi.
Kesolidan ini pun sebenarnya masih abu-abu, bisa jadi tiadanya tawaran strategis dari pemenanglah yang membuat mereka tetap berada di luar pemerintah.
Setidaknya ada satu retorika sesat pikir publik yang sering diutarakan para politisi mengapa partai enggan mengambil jalan oposisi.
Seolah-olah rivalitas menyimpan ekses negatif sehingga tidak perlu lagi menyandang predikat tersebut seusai pelaksanaan pemilu.
Seolah-olah berbagai pihak perlu bekerja sama dan mengesampingkan segala perbedaan demi kemajuan bangsa.
Seperti diutarakan Andre Rosiade (Wasekjen Gerindra), bahwa masuknya Gerindra dalam pemerintahan adalah bentuk pengabdian, “nation call” atau “panggilan/seruan negara” (Kompas, 25/10/2019).
Retorika-retorika sesat pikir publik tersebut secara eksplisit hendak membiarkan kebijakan dibuat serta dijalankan serampangan tanpa adanya alat kontrol efektif yang mampu menilai baik-buruknya kebijakan.
Di mana pun, penilaian internal akan kebijakan tertentu tidak akan berjalan objektif. Di sinilah pentingnya rival, musuh, lawan, oposan, seteru, penentang.
Ia merupakan elemen inti demokrasi yang amat diperlukan untuk mengukur sejauh mana kebijakan yang hendak diimplementasikan legitimatif di mata rakyat.
Alasan lainnya keengganan partai untuk menjadi oposisi, dan ini merupakan motif paling lazim, yakni karena mereka tidak mau kehilangan kesempatan untuk mengumpulkan pundi-pundi harta yang didapat dari pos-pos strategis yang mereka duduki.
Sudah menjadi pandangan umum bahwa partai-partai Indonesia adalah partai kartel yang bergerak demi keuntungan segelintir oligarki. Mereka beroperasi di beberapa pos strategis dan korup.
Lalu apakah keputusan Gerindra bergabung bersama Jokowi dilandasi oleh retorika sesat pikir “membangun negara bersama” atau “cerminan perilaku kartel”?
Kita tunggu saja aksinya!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.