JAKARTA, KOMPAS.com — Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai klaim Presiden Joko Widodo yang ingin memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi lewat revisi Undang-Undang KPK hanya delusi.
"Narasi untuk memperkuat dengan revisi UU KPK itu adalah sesuatu yang delusi, tidak benar," kata peneliti ICW Donal Fariz saat dihubungi, Sabtu (14/9/2019).
Donal menilai, sikap Presiden Jokowi atas revisi Undang-Undang KPK sebenarnya tak berbeda jauh dari draf yang disusun DPR.
Ia menyimpulkan Presiden dan DPR sama-sama ingin merevisi UU untuk melemahkan KPK.
"Kalau DPR itu drafnya sangat melemahkan, presiden kadarnya lebih kecil dari DPR. Itu saja. Poinnya tetap bertemu untuk memperlemah," ucap Donal.
Baca juga: Jokowi Klaim Tolak Empat Poin Revisi UU KPK, Faktanya...
Misalnya, soal keberadaan dewan pengawas KPK. Presiden dan DPR sama-sama setuju KPK harus diawasi dewan pengawas.
Namun, Jokowi ingin anggota dewan pengawas KPK dipilih langsung oleh presiden, sementara DPR juga ingin terlibat dalam pemilihannya.
"Dewan pengawas yang diusulkan DPR dan presiden hanya berubah dari sisi mekanisme pemilihan. Eksistensi dan fungsinya tetap sama, menjadi perangkat birokratis izin penyadapan KPK," kata Donal.
Konsekuensinya, kata dia, penyadapan oleh KPK akan menjadi lambat. KPK bisa jadi akan kehilangan momentum untuk menangkap pelaku suap.
Penyadapan KPK bisa batal dilakukan jika dewan pengawas tidak memberikan izin.
"Akibatnya, kerja penegakan hukum KPK akan turun drastis," kata dia.
Baca juga: Nilai Revisi UU KPK Dilakukan Tersembunyi, Pimpinan KPK: Ada Kepentingan Apa?
Kedua, kewenangan KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) juga hanya berubah dari sisi waktu.
DPR mengusulkan KPK memiliki jangka waktu satu tahun dalam mengusut suatu kasus sebelum akhirnya bisa menerbitkan SP3. Jokowi hanya meminta waktunya diperpanjang menjadi dua tahun.
Donal menilai waktu pengusutan kasus yang dibatasi ini akan membuat KPK tidak dapat menangani perkara korupsi yang kompleks.
"Tapi hanya bisa menangani kasus kecil," tutur dia.
Baca juga: Demonstran di Depan KPK Tidak Tahu Menahu soal Revisi UU KPK
Donal menilai aturan ini juga akan melemahkan KPK. Sebab, faktanya kinerja PPNS yang ada hari ini buruk, tidak dapat menangani kejahatan besar. PPNS di KPK juga harus tunduk pada mekanisme korwas yang dikendalikan oleh kepolisian.
"Alih-alih KPK menjadi lembaga yang menyupervisi dan mengoordinasi penanganan pidana korupsi, penyelidik dan penyidik KPK disupervisi oleh kepolisian," ujar Donal.
Jika memang ingin memperkuat KPK, Donal menilai harusnya bukan UU KPK yang direvisi.
Baca juga: Persatuan Guru Besar Indonesia Soroti Sejumlah Masalah dalam Revisi UU KPK
Menurut dia, pemerintah bisa menambah kewenangan KPK lewat revisi UU perampasan aset hingga UU Tipikor.
Presiden Jokowi sebelumnya mengklaim bahwa revisi yang dilakukan bukan untuk melemahkan KPK. Ia menyebut revisi itu untuk penyempurnaan karena UU KPK sudah tidak mengalami perubahan selama 17 tahun.
"Saya tidak ada kompromi dalam pemberantasan korupsi karena korupsi musuh kita bersama. Saya ingin KPK punya peran sentral dalam pemberantasan korupsi, yang punya kewenangan lebih kuat dibanding lembaga-lembaga lain," kata Jokowi dalam jumpa pers di Istana Kepresidenan, Jakarta, Sabtu (14/9/2019).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.