Oleh: Syahrier Firmansyah Wakid & Budy Sugandi
SELAMA masa Pemilihan Presiden 2019 ini, hoaks bertebaran di mana-mana. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengidentifikasi sebanyak 771 hoaks sepanjang Agustus 2018 hingga Februari 2019. Angka ini terus meningkat hingga hari pemilihan 17 April 2019.
Hoaks atau fake news telah menjadi fenomena global. Frasa ini menjadi terkenal semenjak pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun 2016.
Saat itu, calon presiden Donald J Trump--yang kemudian terpilih menjadi presiden--mengeluarkan frasa tersebut ketika diwawancarai oleh salah satu media.
Dia juga akhirnya sering menggunakan frasa tersebut di media sosial miliknya, terutama di akun Twitter Trump @realDonaldTrump (Silverman, 2018).
Dia mungkin memopulerkan istilah hoaks, tetapi jauh sebelum Donald Trump, konsep hoaks telah ada sejak lama (Posetti & Matthews, 2018).
Ternyata hoaks sendiri telah beredar sejak Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak pada 1439 (Posetti & Matthews, 2018). Hoaks pada masa itu bahkan lebih berbahaya daripada di era digital dan internet seperti sekarang ini. Akibatnya, hoaks yang beredar sulit diverifikasi.
Sementara itu, menurut peneliti Lynda Walsh dalam sebuah buku berjudul Sins Against Science, hoaks sendiri adalah istilah bahasa Inggris yang mulai masuk sejak era industri atau sekitar 1808 (Castagnaro, 2009).
Namun, kata hoaks itu sendiri diyakini telah ada dan muncul ratusan tahun sejak zaman kekaisaran Romawi, sebagaimana terjadi pada kisah Mark Antony dan Ratu Cleopatra (Sirianni, 1984, dan MacDonald, 2018).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Massachusetts Institute of Technology (MIT) (Dizikes, 2018), ternyata hoaks menyebar lebih cepat dari pada berita yang benar.
Tidak usah jauh-jauh ke Amerika, selama berlangsung Pemilu 2019 di Indonesia ini begitu banyak tersebar hoaks di seluruh media digital.
Di Indonesia sendiri, hoaks sangat mudah sekali tersebar. Hal ini munhkin dipengaruhi oleh rendahnya tingkat literasi kita terutama literasi digital.
Hasil laporan PISA 2015 tentang kemampuan anak-anak Indonesia di bidang sains, membaca, dan matematika dibandingkan negara-negara lain berada di poisisi 10 besar dari bawah.
Yang lebih memprihatinkan lagi, data UNESCO menyebutkan minat baca orang Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, jika ada 1.000 orang Indonesia berkumpul hanya 1 orang yang rajin membaca.
Padahal, kemampuan ini krusial di era serba cepat sekarang. Termasuk literasi digital, yang merupakan kemampuan untuk mengolah memahami dan menggunakan informasi dari berbagai sumber digital.