Tak hanya kemampuan membaca, literasi digital juga mencakup kemampuan menulis yang berhubungan dengan informasi yang didapat melalui media berformat digital (internet-based media, website, social media).
Kemampuan dan budaya literasi digital tidak hanya harus dimiliki oleh anak-anak usia remaja, tetapi juga oleh para akademisi bahkan oleh seseorang profesor.
Alan Sokal (profesor fisika di New York University dan profesor matematika di University College London) mengungkapkan, akademisi bergelar tinggi pun dapat tertipu oleh hoaks.
Sokal membuktikannya dengan membuat uji coba berupa sebuah jurnal berjudul Transgressing the Boundaries: Towards a Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity (Secor & Walsh, 2004) dan dimuat di In the 46th / 47th edition of Spring 1996, Social Text, sebuah publikasi jurnal terkenal di Amerika Serikat.
Jurnal yang dibuat oleh Sokal itu sebenarnya adalah jurnal yang penuh dengan hoaks. Makalah yang ia tayangkan di Social Text tersebut hanyalah parodi untuk mengejek pemikir postmodern para editor di jurnal publikasi yang menyukai artikelnya.
Apa alasannya? Ternyata, editor Social Text menyukai artikelnya lantaran memiliki kesimpulan yang sesuai dengan ideologi editor, yaitu konten dan metodologi ilmu postmodern memberikan dukungan intelektual yang kuat untuk proyek-proyek politik progresif.
Apa yang telah dilakukan Sokal sampai hari ini sering disebut sebagai bukti bagaimana komunitas akademik pun juga rentan terhadap hoaks.
Jika jurnal publikasi yang dipimpin oleh para ahli saja mudah dikelabui, apalagi orang biasa yang tidak terbiasa meninjau, menguji, hingga memverifikasi sebuah informasi.
Jika dirunut lebih jauh, kurangnya literasi di masyarakat ialah tidak terbiasa untuk berpikir kritis.
Hal ini disebabkan oleh pendidikan di Indonesia juga tidak memberikan ruang untuk kita mengasah kemampuan berpikir kritis.
Ketika di sekolah seluruh kendali ada di tangan guru, misalnya, semua instruksi guru wajib kita ikuti sama persis. Nyaris tidak diberi ruang untuk bereksperimen dengan metode atau cara lain.
Selain itu, sangat jarang tugas di sekolah berupa penelitian atau membuat esai ilmiah dengan kajian literatur. Pelajaran hanya berdasarkan buku di kelas saja, dan sudah menjadi rahasia umum bahwa nilai adalah tujuan utama yang dikejar.
Hal ini menyebabkan murid tidak memiliki daya inisiatif, daya kritis, dan keberanian dalam memberikan pendapat di muka umum.
Seandainya para pendidik mau menerapkan konsep yang tepat, hasilnya bisa jauh berbeda. Yakni, murid dibebaskan untuk mengeksplorasi secara mandiri agar mengasah kemampuan berpikir kritis. Adapun guru berperan sebagai pengarah dan pembimbing.
Alhasil, ketika siswa diberikan tugas atau permasalahan, mereka dapat mengembangkan kemampuan berpikir logis, membuat hipotesis, bereksperimen, lalu membuat kesimpulan berdasarkan hasil eksperimen tersebut. Seperti kata Albert Einstein, "Logic will get you from A to Z, imagination will get you everywhere".