Pertemuan khusus tersebut dihadiri oleh Pangeran Mangkubumi, Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Rangga. Sementara, Harting didampingi oleh Breton, Kapten Donkel dan Fockens.
Pendeta Bastani menjadi juru bahasa dalam perundingan tersebut. Keinginan Mangkubumi untuk membelah Mataram menjadi dua didasarkan pada Cirebon yang mempunyai dua pemimpin, Kasepuhan dan Kasunanan.
Tawar-menawar wilayah antara keduanya tak mancapai keputusan akhir, hingga nota kesepahaman perdana untuk kesepakatan tak saling serang menyerang.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Kesultanan Yogyakarta Masuk Wilayah NKRI
Setelah berjalan beberapa perundingan, pada 23 September 1754 terciptalah nota kesepahaman yang menyatakan bahwa Mangkubumi mendapatkan setengah bagian dari wilayah Mataram.
Selain itu, Mangkubumi juga mendapatkan setengah pusaka Istana dan diperbolehkan memakai gelar Sultan. Pantai Utara Jawa (Pesisiran) diserahkan dan dikuasai VOC.
Nota kesepahaman akhirnya diterima oleh Paku Buwono III yang menggantikan Paku Buwono II yang telah mangkat sebelumnya. Akhirnya, penandatanganan dilakukan oleh kedua kubu di Desa Giyanti pada 13 Februari 1755.
Secara de facto dan de jure, Perjanjian Giyanti menandai berakhirnya Kerajaan Mataram yang sepenuhnya independen.
Berdasarkan perjanjian itu, Mataram dibagi dua yaitu sebelah timur Kali Opak dikuasai Paku Buwono III berkedudukan di Surakarta dan wilayah Barat diserahkan ke Pangeran Mangkubumi yang berkedudukan di Yogyakarta.
Surat perjanjian itu terdiri dari sembilan pasal dan satu penutup dan ditandatangani pihak yang terlibat.
Ternyata dalam perkembangan selanjutnya, politik adu domba Belanda sukses membuat dua kerajaan ini kembali terpecah.
Dalam perjalanan sejarah, Pangeran Sambernyowo dari Surakarta kemudian mendirikan kadipaten sendiri yang otonom terpisah dari Kerajaan Surakarta.
Wilayah kekuasaan Pangeran Sambernyowo kemudian kita kenal hingga sekarang dengan sebutan Mangkunegaran, karena pangeran ini berkuasa dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro.
Sementara itu, Pangeran Notokusumo dari Yogyakarta dalam perjalanan sejarah juga mendirikan daerah otonom yang terpisah dari Kesultanan Yogyakarta.
Pangeran Notokusumo mendapat kekuasaan sebagian dari wilayah Yogyakarta dan mendirikan kadipaten otonom, yakni Kadipaten Pakualaman. Notokusumo bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.