Salin Artikel

Hari Ini dalam Sejarah, Perjanjian Giyanti Memecah Wilayah Mataram Islam

Situasi ini mengakibatkan Pemerintah Hindia Belanda di Batavia dihadapkan pada hal sulit. Mereka juga menyesal karena sudah terlalu dalam ikut dalam urusan suksesi tersebut.

Kebijakan yang diterapkan pemerintah kolonial tak kunjung meredakan suasana. Pangeran Mangkubumi menekan dan membujuk VOC untuk mengakuinya sebagai penerus sah tahta Mataram.

Sementara itu, Paku Buwono II yang telah berada di Kartasura tetap bersikukuh terhadap hak tahta Mataram.

Melalui sebuah kesepakatan, VOC mencoba menjembatani konflik antara dua kubu tersebut melalui sebuah perundingan pembagian wilayah.

Hari ini 264 tahun yang lalu, tepatnya pada 13 Februari 1755, tercapai kesepakatan yang bernama Perjanjian Giyanti. Ini menjadi penanda terbaginya Mataram Islam menjadi dua wilayah.

Dalam buku Sejarah Panjang Mataram karya Ardian Kresna (2011), perjanjian itu ditandatangani di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo, Karangayar, Jawa Tengah.

Penandatanganan perjanjian tesebut dihadiri oleh kubu Paku Buwono III dan Pangeran Mangkubumi, dan dimediasi oleh VOC.

Akhirnya, Mangkubumi mendapatkan gelar Sultan Hamengku Buwono I dan berkuasa di wilayah yang sekarang merupakan Yogyakarta.

Sedangkan, Sunan Paku Buwono III harus bisa menerima kenyataan dalam perjanjian tersebut dan berkuasa di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kartasura-Surakarta.

Konflik panjang

Sebelumnya, Kerajaan Mataram Islam dengan raja Sunan Paku Buwono II dipusingkan oleh pemberontakan yang dipimpin kerabatnya sendiri, yakni Pangeran Mangkubumi.

Mangkubumi menolak kerja sama Kerajaan dengan VOC. Langkahnya melakukan pemberontakan dilakukan dengan cara bergabung bersama Pangeran Sambernyawa.

Mangkubumi dan kelompoknya melakukan gerilnya ke beberapa wilayah di Jawa dan melakukan serangan terhadap kubu Pakubuwono II. Perang Suksesi Jawa akhirnya meletus, Mangkubumi menganggap dirinya sebagai pewaris sah tahta Kerajaan Mataram.

Pihak VOC terpaksa berupaya meredakan kubu yang berseteru ini dengan mengupayakan kesepakatan damai.

Pertemuan khusus tersebut dihadiri oleh Pangeran Mangkubumi, Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Rangga. Sementara, Harting didampingi oleh Breton, Kapten Donkel dan Fockens.

Pendeta Bastani menjadi juru bahasa dalam perundingan tersebut. Keinginan Mangkubumi untuk membelah Mataram menjadi dua didasarkan pada Cirebon yang mempunyai dua pemimpin, Kasepuhan dan Kasunanan.

Tawar-menawar wilayah antara keduanya tak mancapai keputusan akhir, hingga nota kesepahaman perdana untuk kesepakatan tak saling serang menyerang.

Mulai ada titik terang

Setelah berjalan beberapa perundingan, pada 23 September 1754 terciptalah nota kesepahaman yang menyatakan bahwa Mangkubumi mendapatkan setengah bagian dari wilayah Mataram.

Selain itu, Mangkubumi juga mendapatkan setengah pusaka Istana dan diperbolehkan memakai gelar Sultan. Pantai Utara Jawa (Pesisiran) diserahkan dan dikuasai VOC.

Nota kesepahaman akhirnya diterima oleh Paku Buwono III yang menggantikan Paku Buwono II yang telah mangkat sebelumnya. Akhirnya, penandatanganan dilakukan oleh kedua kubu di Desa Giyanti pada 13 Februari 1755.

Secara de facto dan de jure, Perjanjian Giyanti menandai berakhirnya Kerajaan Mataram yang sepenuhnya independen.

Berdasarkan perjanjian itu, Mataram dibagi dua yaitu sebelah timur Kali Opak dikuasai Paku Buwono III berkedudukan di Surakarta dan wilayah Barat diserahkan ke Pangeran Mangkubumi yang berkedudukan di Yogyakarta.

Surat perjanjian itu terdiri dari sembilan pasal dan satu penutup dan ditandatangani pihak yang terlibat.

Ternyata dalam perkembangan selanjutnya, politik adu domba Belanda sukses membuat dua kerajaan ini kembali terpecah.

Dalam perjalanan sejarah, Pangeran Sambernyowo dari Surakarta kemudian mendirikan kadipaten sendiri yang otonom terpisah dari Kerajaan Surakarta.

Wilayah kekuasaan Pangeran Sambernyowo kemudian kita kenal hingga sekarang dengan sebutan Mangkunegaran, karena pangeran ini berkuasa dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro.

Sementara itu, Pangeran Notokusumo dari Yogyakarta dalam perjalanan sejarah juga mendirikan daerah otonom yang terpisah dari Kesultanan Yogyakarta.

Pangeran Notokusumo mendapat kekuasaan sebagian dari wilayah Yogyakarta dan mendirikan kadipaten otonom, yakni Kadipaten Pakualaman. Notokusumo bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam.

https://nasional.kompas.com/read/2019/02/13/13035281/hari-ini-dalam-sejarah-perjanjian-giyanti-memecah-wilayah-mataram-islam

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke