Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hari Ini dalam Sejarah, Perjanjian Giyanti Memecah Wilayah Mataram Islam

Kompas.com - 13/02/2019, 13:03 WIB
Aswab Nanda Pratama,
Bayu Galih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kerajaan Mataram Islam bergejolak akibat konflik internal keluarga. Beberapa keturunan Sultan Agung berebut kekuasaan untuk mendapatkan haknya sebagai Raja Jawa.

Situasi ini mengakibatkan Pemerintah Hindia Belanda di Batavia dihadapkan pada hal sulit. Mereka juga menyesal karena sudah terlalu dalam ikut dalam urusan suksesi tersebut.

Kebijakan yang diterapkan pemerintah kolonial tak kunjung meredakan suasana. Pangeran Mangkubumi menekan dan membujuk VOC untuk mengakuinya sebagai penerus sah tahta Mataram.

Sementara itu, Paku Buwono II yang telah berada di Kartasura tetap bersikukuh terhadap hak tahta Mataram.

Melalui sebuah kesepakatan, VOC mencoba menjembatani konflik antara dua kubu tersebut melalui sebuah perundingan pembagian wilayah.

Hari ini 264 tahun yang lalu, tepatnya pada 13 Februari 1755, tercapai kesepakatan yang bernama Perjanjian Giyanti. Ini menjadi penanda terbaginya Mataram Islam menjadi dua wilayah.

Dalam buku Sejarah Panjang Mataram karya Ardian Kresna (2011), perjanjian itu ditandatangani di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo, Karangayar, Jawa Tengah.

Penandatanganan perjanjian tesebut dihadiri oleh kubu Paku Buwono III dan Pangeran Mangkubumi, dan dimediasi oleh VOC.

Akhirnya, Mangkubumi mendapatkan gelar Sultan Hamengku Buwono I dan berkuasa di wilayah yang sekarang merupakan Yogyakarta.

Sedangkan, Sunan Paku Buwono III harus bisa menerima kenyataan dalam perjanjian tersebut dan berkuasa di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kartasura-Surakarta.

Baca juga: Terjadinya Perjanjian Giyanti

Konflik panjang

Sebelumnya, Kerajaan Mataram Islam dengan raja Sunan Paku Buwono II dipusingkan oleh pemberontakan yang dipimpin kerabatnya sendiri, yakni Pangeran Mangkubumi.

Mangkubumi menolak kerja sama Kerajaan dengan VOC. Langkahnya melakukan pemberontakan dilakukan dengan cara bergabung bersama Pangeran Sambernyawa.

Mangkubumi dan kelompoknya melakukan gerilnya ke beberapa wilayah di Jawa dan melakukan serangan terhadap kubu Pakubuwono II. Perang Suksesi Jawa akhirnya meletus, Mangkubumi menganggap dirinya sebagai pewaris sah tahta Kerajaan Mataram.

Pihak VOC terpaksa berupaya meredakan kubu yang berseteru ini dengan mengupayakan kesepakatan damai.

Wisatawan mengunjungi Keraton Yogyakarta, di Yogyakarta, Jumat (5/8/2016). KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO Wisatawan mengunjungi Keraton Yogyakarta, di Yogyakarta, Jumat (5/8/2016).
Menurut dokumen register harian milik N Harting, Gubernur VOC untuk Jawa bagian utara itu berangkat menuju Semarang pada 10 September 1754 untuk menemui Pangeran Mangkubumi.

Pertemuan khusus tersebut dihadiri oleh Pangeran Mangkubumi, Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Rangga. Sementara, Harting didampingi oleh Breton, Kapten Donkel dan Fockens.

Pendeta Bastani menjadi juru bahasa dalam perundingan tersebut. Keinginan Mangkubumi untuk membelah Mataram menjadi dua didasarkan pada Cirebon yang mempunyai dua pemimpin, Kasepuhan dan Kasunanan.

Tawar-menawar wilayah antara keduanya tak mancapai keputusan akhir, hingga nota kesepahaman perdana untuk kesepakatan tak saling serang menyerang.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Kesultanan Yogyakarta Masuk Wilayah NKRI

Mulai ada titik terang

Setelah berjalan beberapa perundingan, pada 23 September 1754 terciptalah nota kesepahaman yang menyatakan bahwa Mangkubumi mendapatkan setengah bagian dari wilayah Mataram.

Selain itu, Mangkubumi juga mendapatkan setengah pusaka Istana dan diperbolehkan memakai gelar Sultan. Pantai Utara Jawa (Pesisiran) diserahkan dan dikuasai VOC.

Nota kesepahaman akhirnya diterima oleh Paku Buwono III yang menggantikan Paku Buwono II yang telah mangkat sebelumnya. Akhirnya, penandatanganan dilakukan oleh kedua kubu di Desa Giyanti pada 13 Februari 1755.

Secara de facto dan de jure, Perjanjian Giyanti menandai berakhirnya Kerajaan Mataram yang sepenuhnya independen.

Berdasarkan perjanjian itu, Mataram dibagi dua yaitu sebelah timur Kali Opak dikuasai Paku Buwono III berkedudukan di Surakarta dan wilayah Barat diserahkan ke Pangeran Mangkubumi yang berkedudukan di Yogyakarta.

Surat perjanjian itu terdiri dari sembilan pasal dan satu penutup dan ditandatangani pihak yang terlibat.

Ternyata dalam perkembangan selanjutnya, politik adu domba Belanda sukses membuat dua kerajaan ini kembali terpecah.

Dalam perjalanan sejarah, Pangeran Sambernyowo dari Surakarta kemudian mendirikan kadipaten sendiri yang otonom terpisah dari Kerajaan Surakarta.

Wilayah kekuasaan Pangeran Sambernyowo kemudian kita kenal hingga sekarang dengan sebutan Mangkunegaran, karena pangeran ini berkuasa dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro.

Sementara itu, Pangeran Notokusumo dari Yogyakarta dalam perjalanan sejarah juga mendirikan daerah otonom yang terpisah dari Kesultanan Yogyakarta.

Pangeran Notokusumo mendapat kekuasaan sebagian dari wilayah Yogyakarta dan mendirikan kadipaten otonom, yakni Kadipaten Pakualaman. Notokusumo bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

Nasional
PKB: Semua Partai Terima Penetapan Prabowo-Gibran, kecuali yang Gugat ke PTUN

PKB: Semua Partai Terima Penetapan Prabowo-Gibran, kecuali yang Gugat ke PTUN

Nasional
Ukir Sejarah, Walkot Surabaya Terima Penghargaan Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha

Ukir Sejarah, Walkot Surabaya Terima Penghargaan Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha

BrandzView
Jokowi dan Gibran Disebut Bukan Bagian PDI-P, Kaesang: Saya Enggak Ikut Urusi Dapurnya

Jokowi dan Gibran Disebut Bukan Bagian PDI-P, Kaesang: Saya Enggak Ikut Urusi Dapurnya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com